Minggu, 05 November 2017
Politisasi Identitas Mematikan Berpikir Rasional Dan Kritis
Berita Dunia Jitu - Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok. Apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini sejak Pilkada DKI, ada politisasi dalam identitas tertentu untuk mewujudkan kepentingan politik. Identitas yang sejatinya agar dapat menghargai perbedaan, menjadi ajang untuk saling mendiskriminasikan hingga berbuah tindakan rasialis, yang tidak menutup kemungkinan sampai kepada titik ekstrim yaitu fasis. Disini jelas tergambar politisasi identitas tertentu untuk dominasi kekuasaan. Paling memuakkan dalam menggaungkan identitas tersebut menggunakan identitas agama yang berkedok "khilafah", jihadi dan syariah.
Identitas yang menjadi salah satu dasar konsep kewarganegaraan (citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara. Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya seperti identitas agama, etnis, daerah dan lain-lain.
Artinya kita masyarakat Indonesia merupakan satu kesatuan yang utuh dan solid dalam satu identitas yaitu Warga Negara Indonesia, dimana dalam kesatuan tersebut semakin solid karena menghargai perbedaan pada identitas lain seperti suku, ras, wilayah termasuk identitas agama. Kesatuan tersebut yang lahir dari keberagaman dipertegas dalam Pancasila, Kebhinekaan, UUD 45 bahkan Sumpah Pemuda.
Kesatuan NKRI juga sudah tergambar sebelum masa merdeka, sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau dan suku bersatu padu mengusir penjajah. Kesatuan yang solid ini membuat kolonial menggunakan taktik "pecah-belah lalu kuasai"
Dengan terpecah belah maka jalan untuk menguasai ataupun merebut kekuasaan akan mudah dilakukan. Maka tidaklah heran jika para pejuang kemerdekaan NKRI tak kenal lelah menyuarakan kesatuan dan persatuan. Sangatlah ironis fenomena yang terjadi dalam kegaduhan politik sejak pilkada DKI, yang berefek pada skala nasional bahkan dunia, dimana mitos kolonial sangat kental terasa digaungkan oleh kelompok tertentu, dengan mempolitisasi identitas tertentu untuk kepentingan politik. Hingga perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial dipaksa berubah menjadi perjuangan identitas dengan isu SARA, dengan play victim seolah-olah identitas tertentu dizalimi.
Tidaklah keliru apa yang ditulis oleh Coen Husain, bahwa mencuatnya isu SARA yang merupakan bagian dari Politik Identitas ini, membuat kontestasi Pilkada ini lebih mengutamakan emosi ketimbang rasio. Tidak ada diskusi kritis lagi mengenai program-program seperti apa yang ditawarkan oleh para kandidat, tetapi seberapa persuasif para kandidat ini mengulik-ulik emosi calon pemilihnya. Bukannya mempertanyakan, “bagaimana membangun DKI yang bersih dan efisien tanpa harus menggusur rakyat miskin”, atau “bagaimana menjadikan DKI sebagai rumah bagi semua lapisan sosial masyarakat, bukan hanya bagi kalangan yang berduit dan berkuasa”, atau “bagaimana membangun kota yang partisipatif,” atau “bagaimana membangun sistem transportasi yang lancar dan nyaman”, dst, dst.
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan saja memaksa para kandidat untuk berpikir secara serius, tetapi juga menuntut para calon pemilih turut berpikir serius. Sementara isu SARA, jelas tidak membutuhkan keseriusan seperti itu.
Akan tetapi isu SARA berhasil membuat masyarakat tidak berpikir secara rasional lagi, sederhananya tak peduli apakah seorang pemimpin akan dapat memenuhi harapan mereka seperti tuntutan ekonomi yang baik, lapangan pekerjaan, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dsb dalam kehidupan sehari-hari, sing penting pemimpinku satu identitas denganku. Dan di waktu yang bersamaan mendiskreditkan serta memarginalkan identitas lain.
Politik identitas dengan mengusung isu SARA selain mencerai berai kesatuan solid juga menjadikan perjuangan buta dan tuli. Dimana tuntutan rakyat bukan lagi pada kebutuhan yang strategis dan krusial. Seperti sila ke-5 dalam Pancasila yaitu "Keadilan Sosial". Tetapi lebih kepada tuntutan akan pengakuan bahwa identitasnyalah yang superior dibanding identitas lainnya. Hal inilah yang disebut ego identitas dan dapat mengarah ke titik lebih ekstrem yaitu fasis.
Dalam hal ini janji-janji kampanye seorang pemimpin yang kental dengan politik identitas, tidak lagi ditanggapi dengan serius oleh yang memilih yang sudah terjebak dalam permainan politisasi para elite, tirani, dan kelompok tertentu. Inilah yang saya sebut bahwa berpikir rasional is dead dihantam oleh skenario politik identitas yang mengangkat isu SARA.
Kelas-kelas penguasa makin rakus dan serakah, tak peduli janji kampanye ditepati atau tidak dan merasa aman dengan dominasi yang sudah direbut dan dikuasainya, karena mereka sudah memenangkan dalam menghegemoni pikiran jelata. Keberhasilan isu SARA dalam pilkda DKI, tidak akan berhenti sampai disitu saja, akan ada ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Tindakan-tindakan rasialis dan isu kepribumian sudah mewarnai kota-kota lain.
Lantas bagaimana kita sebagai warga yang belum terjebak dan terprovokasi?
Silent majorty is dead, speak up! Karena politik identitas yang dimainkan dengan penuh konsesus terselebung sudah membuat sebagian tidak lagi berpikir kritis dan rasional.
A : Pak kalau kita mewujudkan khilafah bagaimana?
B : nanti kita islamisasi kan semua, agar seragam dan masuk syurga semua, ora opo-opo hidup sengsara.
Bullshit!
"Dunia bukan saja eksis tetapi sudah eksis mau dijadikan dunia utopi", maka jadilah ingin tahu. Duduklah saat malam tiba, lihatlah bulan, lihatlah bintang, awan berjalan, rasakanlah riuh angin, bertanyalah tentang yang kau lihat, yang kau rasa, kau raba, setidaknya agar otak bekerja. Tak ada yang bodoh kalau senantiasa berpikir. Realitas bukanlah suatu hal yang sederhana, penuh kerumitan dan tanda tanya, jadilah ingin tahu! Ketika kemanusiaan mati, masihkah anda bicara bahwa itu adalah kebenaran? ketika perbedaan Ras dijadikan ajang saling bantai, masihkah anda bicara bahwa itu yang diajarkan Tuhan? 😇Setidaknya berilah diri kemerdekaan berpikir.
Yang diamanahkan oleh para pejuang NKRI adalah wujudkan keadilan sosial dan menjaga kesatuan-persatuan bangsa bukan wujudkan superior ego identitas.
Saya tidak habis pikir, Anies yang disebut seorang intelektual, pernah menyebutkan ormas seperti FPI dapat menjaga kebhinekaan, sementara seorang Basuki dihantam hak politiknya bahkan beramai-ramai mengatarkannya ke penjara. Kebhinekaan yang bagaimana yang dimaksud?
Mari kita sama-sama berpikir.
Apakah kita melupakan sejarah, bahwa menghendaki keseragaman dan pemurnian hanyalah mimpi dalam dunia utopi yang membuat diri buta dan tuli. Pemberontakan DI/TII adalah contoh konkrit pemberontakan yang gagal dalam mengusung isu identitas.
Kini jargon ego identitas bersatu dengan watak mitos kolonial untuk menguasai pun merebut kekuasaan.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar