Kamis, 02 November 2017
Misteri Terpuruknya Glodok Oleh Bisnis Online
Berita Dunia Jitu - Akhir-akhir ini terjadi perdebatan yang cukup seru ditengah-tengah masyarakat terkait lesunya dunia bisnis yang diakibatkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Fenomena yang lazim terjadi dalam dunia bisnis ini kemudian menjadi bias karena fenomena ini dikaitkan dengan isu politik, yaitu menyangkut citra pemerintah yang kemudian dikaitkan dengan perhelatan Pilpres 2019.
Alih-alih kita mendapat solusi dan pencerahan dari setiap perdebatan terkait fenomena lesunya dunia bisnis ini. Sebaliknya kita justru dibuat bingung. Ini karena jawaban yang didapat selalu berdasarkan kepada pemahaman pro atau kontra pemerintah, yang kemudian digeneralisir bahwa isu lesu tidaknya dunia usaha ini terjadi pada semua bidang bisnis. Padahal tidak semua bidang bisnis lesu, karena ada sebagian yang justru meroket naik. Jadi kita harus melihatnya kasus per kasus, seperti pada contoh dalam kasus pusat belanja elektronik terbesar di Indonesia, Pasar Glodok.
Pasar Glodok yang dikelola PD Pasar Jaya ini, dulu sempat limbung akibat kerusuhan 1998. Ketika itu Glodok membara karena dijarah massa, dan kemudian berubah menjadi “pekuburan.” Pada tahun 2001 Pemda DKI membangun kembali Pasar Glodok seperti yang sekarang ini. Glodok kemudian bangkit dan kembali ramai oleh pengunjung. Namun era kejayaan Glodok ini hanya mampu bertahan satu dekade saja. Bukan karena dijarah massa melainkan karena “dijarah” oleh perubahan zaman!
Sebagian orang (para penjilat) mengklaim bahwa sepinya Glodok bukan karena melemahnya daya beli masyarakat. Ekonomi tidak mengalami penurunan, karena yang terjadi sebenarnya adalah shifting (pergeseran pola konsumsi masyarakat) yang diakibatkan perubahan konsumsi dari sistim konvensional ke sistim e-commerce (online) Jadi Glodok sepi bukan karena orang tidak berbelanja elektronik, melainkan karena mereka berbelanja melalui aplikasi online saja, sehingga mereka tidak perlu repot-repot lagi pergi ke Glodok!
Benarkah demikian? e-commerce (online) hanyalah salah satu dari beberapa faktor internal dan eksternal penyebab lesunya Glodok. Mari kita cermati beberapa penyebab tersebut.
Pertama, e-commerce (online)
Belanja lewat aplikasi online jelas sangat memudahkan bagi konsumen, karena spesifikasi peralatan elektronik itu selalu sama. Misalnya televisi merk LG dengan kode/seri tertentu, akan sama dimensi/berat maupun warnanya, dimanapun kita membelinya. Apalagi belanja lewat online juga tetap didukung oleh jaminan/garansi pabrik. Selain bisa dicicil, harganya juga bisa lebih murah bila dibandingkan dengan toko elektronik off-line. Belum lagi kerepotan waktu dan biaya untuk berkunjung ke toko elektronik.
Kedua, Gerai elektronik di Pusat Perbelanjaan
Menjamurnya pertumbuhan Mall/Pusat Perbelanjaan hingga ke pinggiran kota turut menambah derita Glodok. Di Mall biasanya ada juga Electronic center atau toko elektronik yang barang dagangannya sama dengan di Glodok. Apalagi Mall menawarkan beragam kemudahan belanja sampai dengan tawaran ragam hiburan keluarga. Jadi sang ibu bisa berbelanja di supermarket, anak-anak bermain di tempat permainan anak atau menonton di bioskop, dan sang ayah bisa bebas tanpa gangguan menjelajahi toko elektronik.
Coba bayangkan kalau seorang bapak baru saja ketiban rezeki banyak. Dia lalu membawa istri dan ketiga anak kecilnya menjelajahi Glodok untuk mencari Home theater “yang pas baginya.” Berapa lamakah dia bisa bertahan dari “serangan anggota keluarganya yang bosen itu?” 25 tahun yang lalu masih banyak warga Bogor yang berbelanja elektronik ke Glodok, sekalipun barang yang sama terdapat di Bogor. Itu karena di Glodok mereka ingin “cuci mata” juga. Pada “zaman now” dengan segala kemacetannya, mana ada lagi warga Bogor “yang waras” mau repot-repot ke Glodok hanya untuk sekedar membeli televisi 22 inchi biasa...
Ketiga, Perubahan tren pasar
Berapa banyakkah orang sekarang yang masih suka membeli atau bahkan menikmati peralatan Home theater, tape deck dan barang sejenisnya? Atau mencari kamera digital biasa, maupun DVD Player? Tren pasar jelas sudah berubah! Orang tidak lagi membeli kaset atau CD/DVD. Lagu atau film bisa didownload secara gratis, dan disimpan kedalam ponsel. Ponsel sekarang juga tak kalah canggihnya dengan kamera digital. Speaker aktif kecil yang terhubung lewat bluetooth ke ponsel bisa juga mengeluarkan suara berkualitas yang bisa memanjakan telinga...
Menonton tivi juga bisa lewat ponsel atau laptop. Dulu mungkin orang mengganti tivi setiap dua tahun sekali. Kini tak terlalu banyak lagi yang perduli dengan bentuk tivi mereka, sepanjang tv tersebut masih kelihatan gambarnya... Tiga dekade lalu harga telepon wireless cukup mahal. Kini orang malah sering kaget kalau mendengar telepon rumahnya berdering... Jadi perubahan tren ini turut juga menambah derita Pasar Glodok.
Keempat, Perubahan Kebijakan pemerintah
Perubahan Kebijakan pemerintah terkait tender pengadaan barang lewat mekanisme e-catalogue sangat berpengaruh bagi pedagang Glodok. Dulu para suplier proyek pengadaan barang di pemerintahan umumnya membeli barang lewat pedagang. Perusahaan ataupun distributor tidak mau berbisnis dengan suplier agar para pedagang retail bisa tetap hidup.
Zaman kemudian berubah. e-catalogue bisa memangkas harga sampai 20% (yang merupakan keuntungan suplier dan pedagang eceran) Kini perusahaan ataupun distributor elektronik besar langsung menjadi suplier di pemerintahan. Selain memangkas harga, mereka juga memenuhi segala persayratan administrasi termasuk garansi dan jaminan kualitas barang yang tidak mampu dipenuhi oleh pedagang eceran di Glodok!
Kelima, Melemahnya daya beli
Melemahnya daya beli jelas mebuat konsumen mengurangi pembelian untuk barang-barang elektronik. Hal ini telah dirasakan pedagang sejak tahun 2014 silam. Mungkin tak banyak yang tahu kalau hampir semua pedagang Glodok juga memasarkan barang dagangannya secara online. Sebagian berjualan online dengan memanfaatkan pengiriman barang melalui aplikasi Gojek! Tanpa penjualan online ini, pedagang tidak akan mungkin mampu bertahan.
Jadi mengatakan Glodok sepi hanya karena shifting cara berbelanja dari “offline ke online” adalah sebuah “pernyataan ngasal” yang tidak kompeten karena pada hakekatnya hampir semua pedagang Glodok juga memasarkan barang dagangannya lewat online. Jadi melemahnya daya beli masyarakat memang benar menjadi salah satu faktor yang membuat Glodok menjadi sepi.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar