Kamis, 02 November 2017
Taktik Gaberner Anies-Mengorbankan Pohon Plum Demi Pohon Persik
Berita Dunia Jitu - Tak terasa sudah hampir satu bulan sejak Gaberner dan Wagabener DKI yang baru dilantik. Selama satu bulan ini mereka hampir selalu mendominasi jagat raya medsos dan juga ranah media massa. Ada saja yang bisa dibicarakan. Mulai dari kata “pribumi” diteruskan dengan sepatu kets, diskresi penggunaan sepatu kets, melawan arah sewaktu pulang acara kebersamaan kopri DKI di Puncak, perubahan trayek transjakarta guna menghindarai macet di Kuningan, sayembara pembuatan sepatu pantofel, penundaan sidang istimewa DPRD DKI, silang pendapat reklamasi, penutupan Alexis secara sepihak dan yang terakhir adalah ketiadaan amdal pada beberapa proyek infrastruktur DKI.
Jika kita perhatikan dengan seksama maka kita akan tahu bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya merupakan penerapan taktik “Mengorbankan Pohon Plum Demi Pohon Persik”. Taktik ini merupakan taktik ke sebelas dari 36 taktik peperangan klasik Cina.
Taktik “Mengorbankan Pohon Plum Demi Pohon Persik” menekankan penggunaan kekuatan dan kelemahan, pengorbanan dan perolehan. Tujuan taktik ini adalah untuk memperoleh kemenangan dengan penggunaan kekuatan dan kekuasaan melalui pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Ini berarti merelakan kekalahan pada satu sisi untuk bisa mendapatkan suatu konsesi atau kemenangan pada sisi yang lain. Kemenangan yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai yang dikorbankan.
Pasangan Gaberner dan Wagabener DKI dengan cerdik telah berusaha untuk memanipulasi pendukungnya melalui tindakannya atau pun ucapannya. Mereka tahu kalau mereka sesungguhnya gamang dengan jabatan yang mereka sandang. Apalagi bila mereka disandingkan dengan mantan Gubernur dan Wakil Gubernur yang mereka gantikan, khususnya Jokowi dan Ahok.
Mereka tahu seperti apa kinerja duet Jokowi Ahok sewaktu memimpin Jakarta, apalagi Anies yang mantan menteri Jokowi. Ia pasti tahu tentang langgam dan gaya Jokowi dalam hal bekerja. Mereka juga tahu bahwa mereka pasti tidak akan mampu mengalahkan apa yang telah di capai oleh Jokowi dan Ahok dalam memimpin Jakarta.
Pencapaian Jokowi dan Ahok yang kemudian diteruskan oleh Jarot dalam memimpin Jakarta itu bukan semata-mata karena kehebatan program-program yang mereka buat. Pencapaian pembangunan Jakarta dimasa mereka bertiga lebih dikarenakan integritas pribadi mereka dan juga kemampuan mereka mengeksekusi serta mengawasi pelaksanaan apa yang telah mereka programkan.
Jika bicara program tentunya apa yang diprogramkan “si kumis” pasti lebih baik dibanding mereka bertiga. Sayangnya si kumis lemah dalam hal eksekusi serta pengawasan atas pelaksanaan program-program yang telah dicanangkan. Contoh yang paling nyata adalah program Transjakarta. Kita tentunya tahu bahwa Transjakarta berkembang sangat pesat di jaman JKW, Ahok dan Jarot. Tidak ada bus Transjakarta yang bermerek “Tong Tong”, “Ding Dong”. Tidak ada lagi berita bus Transjakarta terbakar ketika beroperasi. Yang lebih mencolok lagi adalah turunnya jumlah daerah yang terendam banjir serta meningkatnya kualitas kebersihan kali di Jakarta dan yang lebih mencolok lagi adalah meningkatnya kualitas layanan staf kelurahan. Three Musketeers (Jokowi-Ahok-Jarot) ini telah membuat Jakarta berkembang pesat. Mereka telah membuat kota Jakarta layak disebut sebagai Ibukota Negara.
Gaberner dan Wagaberner DKI yang baru ini sadar bahwa kemampuan mereka dan juga program-program mereka tidak akan mampu membuat nama mereka melampaui The Three Musketeers (Jokowi-Ahok-Jarot). Mereka sadar bahwa apa pun yang mereka lakukan tidak akan mampu melebihi apa yang dilakukan oleh The Three Musketeers.
Hal ini tentunya disadari pula oleh tim “hore” Gaberner dan Wagaberner DKI yang baru. Tidak heran bila mereka pada akhirnya menyarankan Gaberner dan Wagaberner DKI untuk menggunakan taktik “Mengorbankan Pohon Plum Demi Pohon Persik”.
Taktik ini sebenarnya merupakan cara mereka untuk menyakinkan pendukung mereka bahwa mereka pantas untuk memimpin Jakarta. Pendukung mereka diyakinkan bukan dengan program-program yang mereka rancang tetapi diyakinkan dengan politik keberpihakan.
Itu sebabnya Gaberner dan Wagaberner DKI memunculkan isu-isu sensitif. Isu-isu yang mereka yakini bisa membuat para pemilih mereka tetap mendukung mereka walau pun apa yang mereka lakukan itu salah atau kurang tepat. Hal ini terlihat dengan dilontarkannya isu sensitif “Pribumi”, dilanjutkan dengan pemaksaan penutupan Alexis dengan dasar berita media massa dan yang terakhir dengan menyalahkan proyek infrastruktur Jakarta sebagai biang kemacetan.
Mereka mengorbankan diri mereka. Mereka menempatkan diri mereka sebagai pohon plum, agar bisa menyelamatkan pohon persik-kepercayaan pendukung mereka. Mereka rela bekorban menjadi sasaran tembak musuh agar mereka tetap mendapatkan kepercayaan para pendukung mereka. Mereka berusaha memanipulasi dukungan publik agar mereka tidak dicecar oleh publik karena ketidakjelasan program-program mereka.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar