Rabu, 01 November 2017

Ini Penyebab Daya Beli Menurun

Ini Penyebab Daya Beli Menurun

Berita Dunia Jitu - Di tengah gencarnya pemerintah membangun infrastruktur di seantero negeri ini malah terdengar bahwa daya beli masyarakat menurun. Banyak gerai usaha di mall yang tutup.

Kemana uangnya? Bukankah dengan banyaknya pembangunan semestinya banyak juga uang yang beredar di masyarakat?

Gerai yang tutup antara lain Matahari Department Store di dua lokasi di Jakarta. Kemudian saat ini Lotus Department Store akan ditutup akhir Oktober ini dan disusul Debenhams pada akhir 2017. Keduanya berada di bawah bendera PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).

Menurut manajemen PT MAPI ini merupakan langkah efisiensi karena kurangnya strategi pemasaran hingga akhirnya menjadi beban operasional perusahaan.

Kebiasaan belanja masyarakat sekarang berubah. Belanja online menjadi pilihan yang sulit dilawan. Menghemat waktu dan ongkos.

Coba saja perhatikan jasa pengiriman barang domestic. Menurut boss JNE peningkatan pemakai jasa kurir meningkat 25-30 persen setiap tahunnya, sementara menurut Presiden Jokowi peningkatannya mencapai 135 persen.

Sedangkan bagi supermarket besar yang barangnya jarang dibeli via online seperti minyak goreng, sabun dan keperluan sehari-hari mempunyai tantangan yang berbeda.

Menjamurnya mini market seperti Alfamart dan Indomaret lama-lama merebut konsumen supermarket besar. Meski lebih mahal sedikit masyarakat tidak ambil pusing karena mudah dijangkau.

Kebanyakan yang masih belanja ke supermarket besar hanya untuk belanja bulanan saja karena yang dibeli lebih banyak.

Situasi tadi kalau tidak ditelusuri akan banyak yang menilai kalau daya beli masyarakat benar-benar merosot.

Tapi isu tersebut ada benarnya juga di lain sisi. Ini disebabkan kalangan menengah atas yang menahan diri untuk belanja.

Isu pajak dan isu politik intoleransi menjadi salah satu penyebab orang kurang nyaman belanja.

Mungkin banyak yang berpikir apa hubungannya sikap intoleransi dengan belanja.

Walaupun pemerintah menjamin segala sesuatunya aman namun kebanyakan mengambil sikap menunggu. Kalau terjadi apa-apa maka segala sesuatu yang sudah dibeli tidak bisa diuangkan dengan segera atau dibawa pergi.

Kalau 100 orang saja eksekutif yang bergaji 50 juta per bulan menahan diri untuk belanja kecuali untuk keperluan hidupnya bayangkan berapa besar uang yang tidak berputar.

Jika mereka hanya membelanjakan 10 juta per orang per bulan dan menyimpan sisanya, maka uang yang tertahan mencapai 4 miliar, hanya dalam sebulan, bagaimana kalau setahun, bagaimana kalau 10.000 orang?

Tahukah anda, menurut data tahun 2013 saja penduduk Indonesia yang bergaji 20 juta ke atas ada 50 juta orang! Itu sama dengan 20 persen dari total jumlah penduduk negeri ini.

Jadi kalau kita asumsikan yang bergaji 50 juta 'hanya' 10.000 orang rasanya masih kecil sekali bukan?


Mereka yang digaji besar bukan koruptor. Mereka digaji besar karena keahlian dan tanggung jawabnya. Kita tidak boleh iri apalagi marah pada orang yang digaji tinggi.

Itulah sebabnya kenapa sikap intoleransi ini justru merugikan semuanya. Kalau negara gonjang ganjing yang paling terpukul adalah kalangan bawah.

Orang Indonesia terkenal suka belanja. Ini sebenarnya peluang. Itulah sebabnya banyak negara luar yang berbondong-bondong menjajakan produknya ke Indonesia.

Ironisnya yang paling gampang terprovokasi adalah kalangan bawah. Bukan bodoh, tapi kurang informasi.

Ibarat meludah ke langit terkena muka sendiri.

Pemerintah tidak bisa memaksa orang untuk belanja atau investasi. Pemerintah hanya bisa menciptakan situasi yang kondusif alias aman dan nyaman agar orang percaya untuk ngeluarin duitnya.

Belajarlah dari sales perumahan. Kalau jalan menuju perumahannya jelek, gelap dan tak aman alias tempat jin buang sempak, siapa yang mau beli?

Isu-isu SARA dihembuskan agar negara ini tak nyaman lagi. Campur tangan orang luar adalah sangat mungkin dan warga negara sendiri yang mendukung bisa dibilang pengkhianat.

Terkadang orang-orang yang frustasi karena kondisi hidup yang sulit berpikir "sekarang pun sudah susah kalau ribut siapa tahu, nothing to lose, tak ada ruginya". Padahal itu justru memperpanjang masa kesulitannya sendiri.

Semoga tulisan ini bisa sampai kepada mereka yang hatinya belum terlalu hitam dan belum keburu banyak makan micin.

Pepatah mengatakan "hanya keledai yang masuk dua kali ke lobang yang sama'.

Masih ingat devide et impera?

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar