Rabu, 01 November 2017
Copet Tanah Abang Makin Bengis, Anies Jangan Bungkam
Berita Dunia Jitu - Zaman dulu pas Pasar Tanah Abang belum kayak sekarang copet itu udah ada. Cuma mainnya alus. Jadi pakai cara mepet, ngambil barang orang alus gitu… Dibandingkan zaman dulu, copet sekarang mainnya lebih brutal. Kadang berani terang-terangan ngambil, terus lari. Ada juga yang malah ke arah rampok, nodong gitu… Apalagi akhir minggu, itu copet bentuknya aneh-aneh, ada yang kelihatan alim, ya cewek, ya cowok, semua main (mencopet)… Emang orang sini selalu ngingetin neng, takut kejadian lagi. Tas kalau udah di belakang ya jadi makanan empuk copet" ujar seorang pedagang yang telah berdagang di Tanah Abang selama 30 Tahun, Samsul Rizal saat ditemui Kompas.com, Senin (30/10/2017).
Anies, semenjak kamu jadi gubernur, Jakarta sepertinya tidak semakin baik. Mungkin kamu tidak sadar, bahwa sebagian dari kalimat yang kamu ucapkan, membuat situasi semakin buruk. Istilah yang kamu sebut di hari perdana kamu dilantik, membuat Jakarta semakin panas. Pemberitaan media massa dan penyebaran virus “pribumi”, membuat hari-hari semakin kelam.
Sebagai orang terdidik, tentu kamu tahu, bahwa apa yang kamu katakan itu sangat bersayap, bahkan cenderung memperkeruh suasana. Sebagai orang yang katanya terdidik, tentu kamu tahu juga, Nies, bahwa istilah itu sudah dilarang, meskipun tidak berkekuatan hukum. Jadi saya lebih percaya, bahwa yang kamu lakukan adalah sebuah langkah politik yang tidak perlu. Korban politik identitas yang kamu munculkan, sudah mulai nyata.
Mungkin kamu bisa lepas dari kasus hukum mengenai istilah pribumi, namun kamu benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari stigma yang dimunculkan oleh warga, khususnya yang pernah trauma pada tahun 1998 silam. Mei 1998 merupakan peristiwa kelam, yang sampai saat ini sangat mengena dan menghantui kami, orang-orang Indonesia berwajah oriental. Apa yang terjadi pada saat itu adalah bagaimana orang-orang yang dianggap pribumi, menyerang, memerkosa, dan membunuh kami.
Mungkin sampai saat ini, kebenaran tentang kejadian itu belum dibuka, namun sampai saat ini, masih ada saksi-saksi hidup, yang benar-benar masih menyimpan trauma yang mendalam. Itu karena mereka tidak dianggap pribumi. Selang 19 tahun setelah kejadian berdarah dan mencekam itu, kamu mengeluarkan istilah itu lagi Nies, dan saya anggap itu adalah bentuk politik identitas yang sangat mengerikan.
Anies, sulit bagi saya untuk mengampuni apa yang kau ucapkan. Padahal jika ingin bicara pribumi atau bukan, kamu pun sulit mendefinisikan apa itu sebenarnya pribumi. Apakah kamu pribumi? Atau… Asudahlah… Ini hanya keluh kesah saya sebagai orang yang pernah mengalami kengerian dan situasi mencekam. Mungkin kamu tidak tahu, karena pada saat itu kamu sedang berada di Amerika untuk mengenyam bangku kuliah di Universitas Maryland. Ya, mengenyam bangku. Hahaha.
Setelah pribumi, sekarang copet. Copet-copet yang berkeliaran di Pasar Tanah Abang, kabarnya sekarang semakin brutal dan bengis, Nies. Kamu sebagai gubernur, tidak perlu untuk bermain-main retorika, apalagi sampai keluarkan istilah pribumi. Penutupan Alexis, bagi saya itu bukan apa-apa dibandingkan dengan brutalnya pencopet di pasar Tanah Abang. Kamu adalah gubernur rakyat, bukan gubernur boneka.
Jadi kamu harus menaati peraturan rakyat, bukan peraturan Prabowo, peraturan pemesan, yang sudah memenangkan kamu, Nies. Sudah lah Nies, jangan terlalu banyak bicara. Perbanyak kerja, tingkatkan keamanan kota, bukan malah menjadikan Jakarta sebagai kota yang brutal. Jangan terlalu banyak minum susu, karena terlalu banyak susu, bisa menyebabkan obesitas, Nies. Program-program, hendaknya buat yang realistis, tidak perlu boroskan APBD, untuk mengisi perut anak SD, yang dibaliknya ada kantong lain yang juga terisi.
Beri mereka ikan saja, lagipula susu tidak mutlak. Mungkin susu mutlak, untuk orang-orang yang memiliki kepentingan yang tidak jelas. Indonesia masih butuh pemimpin seperti Ahok dan Jokowi. Kami benar-benar tidak bisa move on dari mereka. Apalagi dengan kalimat pribumi-mu, Nies, itu merusak suasana.
Semoga saja apa yang kamu lakukan, semata-mata untuk membangun Jakarta, benar-benar memajukan kota, dan membahagiakan warga, bukan memajukan ekonomi pendukung dan membahagiakan perut pengusung. Ini bukan lagi urusan keberpihakan, melainkan urusan kesejahteraan yang tidak berpihak. Karena sejatinya kebenaran itu tidak pernah berpihak, Nies.
Betul kan yang saya katakan?
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar