Jumat, 15 September 2017

Refleksi Kasus Bayi Debora

Refleksi Kasus Bayi Debora

Berita Dunia Jitu - Ditengah hiruk piruk penyebaran infomasi yang secara signifikan dapat dengan mudah diakses, cukup dengan memainkan jemari diatas layar ponsel pintar (smartphone). Tidak lama berseluncur di sebuah situs berita online, lagi-lagi tersirat berita pilu yang menimpa bayi malang berumur 4 bulan yang telah mengalami tindakan diskriminatif ditengah-tengah atmosfer negara hukum yang katanya berhati nurani.

Kisah pilu ini datang dari daerah Kalideres, Jakarta Barat. Menimpa keluarga dari pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi. Bayi mereka yang bernama Tiara Debora berusia 4 bulan meninggal dunia akibat keteledoran pihak Rumah Sakit yang menelantarkan pasien akibat tak mampu membayar biaya administrasi.

Sungguh sebuah ironi, “Rumah sakit yang seharusnya berbasis kemanusiaan, tetapi justru dikelola dengan basis komersial” begitulah kira-kira penuturan dari ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Karena kita telah lama hidup dalam kehidupan dimana uang adalah majikan yang kejam, tetapi pelayan yang hebat.

Dalam hukum positif indonesia tepatnya termaktub dalam UU no. 36 tahun 2009 yang mengatur tentang kesehatan, yang terakomodir secara gamblang dalam pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Adapun secara konstitusional dalam UUD 1945 tepatnya pada pasal 28I ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Tapi apalah arti dari sebuah isi pasal yang hanya dijadikan sebagai pelengkap isi daripada sebuah kitab undang-undang, pasal yang isinya hanya penuh dengan kata-kata indah, namun sunyi dan senyap dalam pergulatan karena mandek dalam hal implementasi. Juga kepastian hukum yang bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah substansinya sehingga sangat gampang kehilangan kepastiannya.

mungkin pegawai/staf yang diberikan wewenang dalam hal ini, yang melakukan penelantaran terhadap pasien tak mampu untuk menggunakan akal praktis sebagaimana yang dibicarakan oleh Immanuel Kant, bahwa manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah sehingga dapat mengukur tindakan yang akan dilakukannya.


Sayangnya Setelah kasus tersebut, langkah yang dilakukan oleh Dinas kesehatan DKI Jakarta mengenai kasus yang menimpa bayi malang dengan rumah sakit ini, tak memberikan sanksi yang tegas kepada pihak rumah sakit. Karena hanya memberikan nota kesepakatan yang terdiri dari empat perjanjian yang harus dilakukan oleh pihak rumah sakit.

Adapun dari pihak kelurga korban, tak ingin mengambil langkah hukum, karena sudah skeptis dari awal, mungkin karena melihat dan paham akan konteks penegakan hukum di Indonesia yang hanya memihak kepada yang memiliki superioritas, berupa materi. Karna pasti keadilan tak akan memihak kepada yang miskin. Mirip yang dibicarakan oleh Eko Prasetyo bahwa jika sesuatu bersangkut dengan pengusaha maka hukum akan memilih untuk kompromi, sebaliknya jika itu adalah kaum jelata maka hukum akan memilih membungkamnya, karena hukum hanya tersungkur dalam perkara siapa melawan siapa (Eko Prasetyo, Keadilan Tidak Untuk yang Miskin).

Aturan hukum yang dibuat sedemikian rupa dengan berbagai wewangian retorika hanya akan menjadi sampah tak berguna jika terhenti dalam hal pengaktualisasiannya, atau hanya sebatas legitimate bahwa kita negara hukum yang bersistem eropa kontinental jadi harus banyak aturannya. Yang katanya agar tercipta kedamaian dan penumbuhan sikap berperikemanusiaan dalam dinamika bernegara hukum. Dan setiap pasal dari kitab hukum merupakan hasil akhir dari negosiasi panjang parlemen yang menjalankan fungsi legislasi, yang pastinya padat akan kompromi dan kepentingan.

Bukannya ingin menyalahkan pihak ataupun institusi manapun tetapi itulah fakta dan realita yang tak bisa untuk ditolak, serta bisa saja menjadi sebuah sindiran akibat carut-marutnya keadaan kemanusiaan di Indonesia. Kita berteriak-teriak membela manusia dari bangsa lain tetapi bungkam dan bersifat lunak saat penindasan dan perlakuan diskriminatif kepada sesama warga negara, semoga saja situasi dan perlakuan diskrimintatif terhadap sesama manusia di bumi pertiwi yang merdeka dapat hilang, karna tak mungkin kita mengulang dan melanjutkan warisan kolonial terdahulu yang terkenal dengan budaya patriarki kelas atau kasta.

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar