Sabtu, 02 September 2017

Jangankan Gatot Nurmantyo, Jokowi Dengan Sandal Jepit Menang Lawan Prabowo, SBY

Jangankan Gatot Nurmantyo, Jokowi Dengan Sandal Jepit Menang Lawan Prabowo, SBY

Berita Dunia Jitu - Jangankan dengan Jenderal Gatot Nurmantyo, dipasangkan dengan sandal jepit pun Jokowi saat ini akan menang pilpres 2019, jika pilpres dilaksanakan sekarang. Tak peduli lawan, putra mahkota culun politik anak asuh komunikasi Rocky Gerung anak SBY si Agus, atau Zulkifly Hasan, atau Prabowo. Tidak bakalan menang melawan Jokowi. Kenapa? Terjadi perubahan zig-zag dari dua kubu polarisasi politik yang justru pecah.

Jokowi dengan prestasi kinerjanya mirip dengan Ahok dengan prestasi hebat. Tingkat kepuasan kinerja kepada Jokowi mencapai angka 67%. Luar biasa. Tertinggi melampaui siapa pun termasuk eyang saya Presiden Soeharto. Sama halnya dengannya, tingkat kepuasaan kinerja Ahok 76%, namun Ahok kalah dalam pilkada DKI. Bagaimana dengan Jokowi?

Akankah Jokowi terjerembab seperti Ahok? Akankah Jokowi ditinggalkan oleh pemilih karena alasan lain bukan tentang kinerjanya? Akankah faktor non teknis menjadi penentu kemenangan atau kekalahan Prabowo, Agus dan Zulkifli? Dari manakah Jokowi harus belajar kalau bukan dari kekalahan Prabowo?

Jujur saja, kini yang terjadi adalah pemikiran dan perasaan polarisasi alias keterpecahan suara. Simpelnya, suara Prabowo dengan suara Jokowi tetap sama masih seperti yang dulu. Dengan skenario apapun ujungnya adalah perseteruan dan perang Jokowi melawan Prabowo.

Dua Pasangan Capres

Kalau capres ada dua pasangan, ya ujungnya ya pasangan Prabowo- Agus dengan kursi sekitar  23%, melawan Jokowi-Sandal Jepit – dengan asumsi siapapun pasangannya tidak masalah jika bukan manusia, karena kalau manusia bisa menguatkan atau melemahkan suara Jokowi.

Dengan dua pasangan maka dipastikan Jokowi-Sandal Jepit menang. Kenapa? Prabowo dan SBY tidak bisa melakukan maneuver dan gerakan seperti di Pilkada DKI. Juga jualan isu PKI, Asing, Aseng, China, yang disorongkan sudah dilawan sejak sekarang oleh relawan Jokowi.

(Ingat, hanya Jokowi yang memiliki relawan asli membiayai sendiri. Kalau relawan Prabowo atau lainnya ya tentu karena nasi bungkus, bahkan ada pendukung Prabowo yang jadi manajer operasional Saracen, bahkan disebut Eggi sebagai penasihat Saracen, apalagi hayo?)

Hasilnya, Jokowi-Sandal Jepit 51% akan memenangi perang melawan Prabowo-Agus dengan 49% suara. Dari mana perhitungan ini? Dari konstelasi dan kenyataan status quo dukungan. Pendukung Jokowi akan bergeser sedikit ke Prabowo, sementara pendukung Prabowo tak akan berubah mendukung Jokowi sampai kiamat dan hari hisab saat penentuan masuk surga atau neraka. (Kalau saya dan satu teman saya milih neraka saja karena lama-lama terbiasa kalau sudah kelamaan di neraka. Di surga juga bosen kebanyakan aturan dan monoton, being normal is boring!)

Tiga Pasangan Capres

Kalau tiga pasangan capres dengan asumsi pecah kongsi Prabowo dengan SBY, maka Prabowo akan menggandeng calon dari partai agama PKS, maka kita sebut saja Prabowo dengan Hidayat Nur Wahid, atau calon siapapun manusia atau bukan tak masalah, seperti halnya Jokowi dengan sandal jepit.

Nah, SBY menggandeng PKB, dan PAN. Koalisi ini akan mendorong Zulkifly Hasan, atau Amien Rais, dengan Agus. Dengan perhitungan seperti ini Nampak SBY begitu kokoh. Agus bisa ke dua kaki bisa memilih antara dengan Prabowo atau membentuk kelompok sendiri dengan PAN dan PKB.

Agus sumringah. Istrinya si Anissa Pohan – anak koruptor Aulia Pohan – juga tersenyum manja menguasai ketiak suami, mirip mertuanya si Ani yang menguasai pundak dan kaki SBY. Maka muncul Yulkifly Hasan – Muhaimin Iskandar, atau Zulifly Hasan – Agus.

Nah, peta kekuatan mereka terpecah-belah. Jokowi-Sandal Jepit akan menguasai minimal 45% suara pada putaran pertama, unggul. Basis dukungan Jokowi tetap sama asumsinya, kurang sedikit. Prabowo-Hidayat atau manusia lain, meraih 25% suara, dan Zulkifly-Agus akan meraih 30% suara. Atau sebaliknnya.

Pertarungan ini menjadi unik. Dalam pertarungan ini, siapapun dari pesaing Jokowi-Sandal Jepit, entah Prabowo atau Zulkifly yang maju ke putaran kedua, maka yang akan menentukan adalah cara kampanye. Jika cara kampanye seperti Anies di DKI, dengan ayat dan mayat, dengan politik identitas Islam radikal, maka kemungkinan suara akan imbang.

Dalam putaran kedua ini Jokowi hanya perlu pergeseran suara dari putaran pertama sekitar 6%. (Yah kondisi yang sama dengan Ahok yang pada putaran kedua hanya butuh 8%, dan Ahok kalah karena kampanye model Saracen yang dipraktikkan Prabowo dan SBY dengan dukungan Jusuf Kalla dan politikus semprul penusuk dari belakang Jokowi.)


Jika, dan hanya jika Jokowi secara tegas menolak politik identitas Islam garis keras, maka Jokowi akan tetap mendapatkan dukungan Ahokers yang beririsan dengan pendukung Jokowi sekitar 3 %. (Nah, di sinilah pentingnya Buni Yani dipenjara. Jika tidak dipenjara si Buni Yani ini, maka para pendukung Ahok memertanyakan keadilan. Ini menghantam Jokowi meski hanya 3 persen.

Namun, karena 3% dalam perang ketat pilpres adalah sangat menentukan. Jokowi dan Prabowo di 2014 hanya memerebutkan 2% suara.) Dan … Jokowi dalam pilpres tiga pasangan tetap akan menang, membiarkan Prabowo menjadi monumen capres abadi sampai akhir Bumi lenyap.

Pemahaman dan Strategi Brilian Jokowi

Jokowi sangat memahami berbagai dinamika politik. Untuk itu secara cerdas sejak setahun yang lalu, Presiden Jokowi memaksakan kepada para parpol agar persyaratan 20-25% presidential threshold (PT) dijadikan syarat UU Pilpres 2019. Tujuannya ada dua yakni memberi ruang tiga pasangan atau dengan dua pasangan, dengan catatan.

Catatan Jokowi sungguh cerdas. Pertama, jika SBY berkongsi dengan Prabowo, maka hanya akan menjadikan pasangan capres dua biji. Para partai lain tak bisa mengajukan calon. Jokowi-Sandal Jepit dan Prabowo-Agus. Ini gampang dibuat isu dan permainan Saracen tidak bisa diterapkan. Isunya bergeser jadi Pecatan Tentara dengan Tentara Mundur tak tahan gaji kecil dan anak mami Ani, tidak punya pendirian disetir Ani dan SBY dan Annissa Pohan – anak koruptor Aulia Pohan.

Kedua, jika kongsi Prabowo-SBY pecah, maka kekuatan harus dicabut. PKB, PPP, dan PAN harus diobrak-abrik. Kalau PKB dengan Muhaimin Iskandar, ya kita kembali ke Kemenakrestrans, selesai. Dikulik di situ. PKB akan tetap mendukung Jokowi. PPP tatap akan dengan Jokowi dalam kondisi terpecah belah.

Ketiga, catatan ini tak kalah penting. Jokowi sedang meredam politik identitas dengan tangan dingin yang asyik. Hantam Islam radikal dengan Perppu Ormas dan memreteli seluruh kekuatan pesaingnya dengan kekuatan intelejen dan kohesivitas TNI, Polri, BIN, dengan permainan KPK di dalamnya sebagai hiburan.

Dengan langkah dan strategi Jokowi ini, maka Prabowo dan SBY ketar-ketir karena tidak bisa memainkan politik identitas Islam radikal semaunya, seperti di Pilkada DKI 2017.

Keempat, Jokowi juga sangat cerdas. Dia ingat pengalaman masa lalu. Pada 2014, enam bulan sebelum pencoblosan pilpres, semua yakin Jokowi akan menang. Keyakinan yang luar biasa besar, dan benar, dan memang menang. Namun, faktanya kemenangan itu berdarah-darah: hanya selisih perebutan suara 2 persen.

Untuk itu, Presiden Jokowi sangat cermat menghitung dalam kaitan hubungannya dengan para partai. Relawan tidak usah sok resek menganggap parpol seperti PKB tidak penting. Relawan harus paham bahwa Jokowi berpikir bukan dengan cara umum, kekuatan jujur, berani, tegas, namun santun itu kekuatan yang luar biasa yang sanggup meluluhlantakkan kawan dan lawan.

Kesimpulannya, Jokowi akan menang dengan siapa pun Jokowi dipasangkan, entah itu Gatot Nurmantyo, Tito Karnavian, Susi Pudjiastuti, atau lainnya Sri Mulyani, atau bahkan Aher atau Ahok. (Ramalan Ki Sabdopanditoratu menerawang, Jokowi setelah menyelesaikan deal dengan para parpol pendukung akan memilih calon wapres yang tidak pernah disebut di media). Catatan khusus: dengan Jenderal Gatot Nurmantyo dan Ahok, the Operators dan the Supreme Operator punya catatan sendiri sampai pensiunnya Jenderal Gatot Nurmantyo, dan dibuinya Buni Yani.

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar