Rabu, 06 September 2017
Hoax: “Terorisme” Media Sosial Pengacau Bangsa
Berita Dunia Jitu - Pada dasarnya “hoax” diciptakan untuk menipu banyak orang dengan cara merekayasa sebuah berita agar terkesan menjadi sebuah kebenaran. Saat ini di Indonesia, hoax sedang populer di internet dan media sosial.
Hoax yang secara terus-menerus disebar lewat media online dan media sosial tersebut, terbukti mampu membentuk opini baru sebagian para pembacanya. Keadaan buruk tersebut, berakibat pada terjadinya polarisasi, gesekan, dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan hoax dianggap sebagai salah satu permasalahan bangsa yang cukup serius, yang mengakibatkan tergerusnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sesungguhnya, istilah hoax sudah digunakan sejak ratusan tahun lalu. Kata hoax yang berawal dari kata “hocus pocus”, yang berasal dari bahasa Latin “hoc est corpus” yang artinya “ini adalah tubuh,” awalnya digunakan oleh para penyihir pada zaman dahulu untuk mengklaim kebenaran, di mana sebenarnya mereka sedang berdusta.
Ada begitu banyak hoax yang telah memicu kekhawatiran, kepanikan, dan ketakutan banyak orang di dunia. Berita-berita bohong tersebut dibungkus semenarik mungkin sehingga sebagian besar orang mempercayai berita-berita tersebut sebagai sebuah kebenaran. Bahkan tidak jarang kita menemukan bahwa ada banyak orang yang menjadikan sebuah hoax sebagai sebuah rujukan.
Foto “Monster Loch Ness,” yang terkenal sebagai “Surgeon’s Photo,” adalah salah satu contoh hoax yang menghebohkan dunia. Foto tersebut diklaim sebagai penampakan monster Loch Ness. Foto yang dijepret tahun 1934 tersebut, selama beberapa dekade, diyakini sebagai bukti keberadaan makhluk misterius di bumi. Hingga akhirnya 60 tahun kemudian, fakta tentang foto tersebut terkuak sebagi sebuah hoax.
Di samping kedua kasus tersebut, masih banyak lagi hoax yang berhasil menggemparkan dunia. Beberapa di antaranya adalah sebuah siaran radio pada 30 Oktober 1938 yang menyebut bumi sedang diserang oleh mahkluk Mars, foto-foto yang menunjukkan penampakan peri di Inggris tahun 1917, dan klaim arkeolog amatir Charles Dawson pada tahun 1917 yang menemukan sisa-sisa makhluk purba yang disebut Manusia Piltdown.
Dunia juga pernah dikagetkan dengan video sensasional yang menunjukkan otopsi alien mati dari UFO di Roswell pada tahun 1995 oleh produser film Inggris Ray Santilli. Dan masih banyak lagi hoax yang mengakibatkan banyak orang tertipu.
Namun, berita-berita bohong yang telah membuat banyak orang tertipu dan cemas tersebut akhirnya terbantahkan. Kecurigaan serta keraguan berbagai pihak atas keabsahan berita tersebut akhirnya terkuak.
Terkait krisis kemanusiaan yang saat ini sedang terjadi di Rakhine, Myanmar, juga tidak terlepas dari hoax. Di media sosial, ramai diberitakan bahwa krisis tersebut merupakan konflik agama antara etnis Rohingya yang beragama Islam dengan penduduk Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.
Kita sangat prihatin dan mengecam konflik tersebut. Etnis Rohingya, menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh pihak keamanan Myanmar. Ratusan ribu orang harus mengungsi ke berbagai negara untuk menyelamatkan diri. Dan juga, puluhan ribu penduduk lainnya, harus tinggal di kamp-kamp penampungan.
Di samping telah memakan begitu banyak korban jiwa, konflik berkepanjangan yang sudah berpuluh-puluh tahun terjadi itu, juga mengakibatkan kerugian materi yang cukup besar. Mereka harus kehilangan harta benda mereka. Bahkan rumah-rumah mereka juga habis dibakar.
Ada begitu banyak anak-anak yang seharusnya masih berlarian ke sana kemari bermain dengan teman-teman sebaya mereka, harus menanggung pahit getirnya keadaan yang mereka hadapi. Hidup mereka selalu berada di bawah ancaman.
Begitu pula orang-orang tua yang sudah renta itu. Mereka harus melewatkan sisa hidup mereka dalam keadaan yang cukup mengenaskan. Sewaktu-waktu, nyawa mereka bisa menjadi korban kekerasan yang sedang terjadi.
Terlepas dari kejadian yang cukup memilukan tersebut, seharusnya kita tidak perlu terhasut oleh berita-berita bohong yang menyebut bahwa krisis yang terjadi di Rakhine Myanmar adalah perselihan antarpemeluk agama. Namun celakanya, sebagian dari kita, meyakini kebenaran berita bohong tersebut.
Adalah sebuah sikap yang sangat mulia dan terpuji ketika kita bersimpati dan turut memberi bantuan sebagai ungkapan rasa prihatin atas kejadian yang menimpa saudara-saudara kita di Rakhine, Myanmar. Namun bersimpatilah karena kita adalah sesama umat manusia, bukan karena yang lain. Apalagi bersimpati hanya karena sebuah hoax. Bahaya sekali.
Dari sekian banyak pihak yang termakan hoax atas kejadian di Myanmar tersebut, FPI, ormas yang dikomandoi oleh Habib Rizieq itu, adalah yang paling serius menanggapinya. Bahkan saat ini, mereka sedang membuka pendaftaran untuk menjaring calon relawan yang siap mati untuk diberangkatkan ke Myanmar. Para calon relawan yang mendaftar tersebut, nantinya akan diseleksi secara ketat.
Di samping siap mati, ada lagi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratannya sebelas dua belas dengan persyaratan masuk tentara: laki-laki dengan umur 21 sampai 40 tahun atau pria umur 17 sampai 20 tahun dengan menunjukkan surat persetujuan dari orang tua. Selanjutnya, sehat jasmani dan rohani serta menyerahkan fotokopi KTP, mengisi formulir pendaftaran dan mengikuti pembekalan mental, fisik, dan pengisian tenaga dalam.
Selain “berjihad” ke Myanmar, FPI juga berencana menggelar aksi bertajuk “Bela Rohingya” di Candi Borobudur, 08 Agustus mendatang. Candi Borobudur yang merupakan simbol agama Buddha di Indonesia itu, mereka anggap sebagai tempat yang paling tepat untuk melampiaskan amarah mereka.
Namun, pihak kepolisian bergerak cepat. Aksi tersebut dikhawatirkan akan merusak Candi Borobudur, yang merupakan salah satu warisan Dunia, yang sudah ada sejak tahun 770 Masehi itu.
Bahkan Tifatul Sembiring juga turut mempercayai beberapa hoax tentang Rohingya. Tifatul mengupload foto-foto hoax terkait krisis Rohingya di akun twitternya. Tifatul Sembiring yang merupakan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika pada masa pemerintahan SBY itu, seharusnya sudah paham betul membedakan mana hoax dan yang tidak.
Ternyata Tifatul tidak sementereng jabatan yang pernah ia emban. Mungkin juga dia kurang memahami tugas pokoknya ketika masih menjabat sebagai menteri.
Bahwa krisis yang terjadi di Rakhine Myanmar adalah sebuah krisis kemanusiaan yang sangat biadab, itu betul. Bahwa krisis yang menimpa etnis Rohingya tersebut adalah sebuah kejadian yang sangat tidak manusiawi dan harus segera dihentikan bahkan dengan intervensi dari negara-negara ASEAN atau lembaga internasional lainnya, ya betul.
Namun, jikalau konflik berkepanjangan tersebut disebut sebagai konflik agama, antara penganut agama Islam dan penganut agama Buddha, jawabannya tidak. Karena itu hoax.
Sesungguhnya, masalah tersebut berawal ketika etnis Rohingya mengungsi dari Bangladesh, negara asal mereka, ke Myanmar beberapa generasi yang lalu. Mereka datang ke Myanmar untuk menjadi kuli tani. Pada awal mereka mengungsi ke Myanmar, mereka menempati wilayah Arakan yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, yang saat ini dikenal sebagai Rakhine.
Namun hingga saat ini, etnis Rohingya dan Pemerintah Myanmar belum mencapai kata sepakat atas status kewarganegaraan etnis Rohingya. Sehingga etnis Rohingya, yang saat ini jumlahnya mencapai 1,3 juta jiwa itu, masih tetap terkatung-katung, “tanpa kewarganegaraan.”
Pemerintah Myanmar tidak setuju dengan penggunaan kata Rohingya, yang artinya penduduk muslim. Mereka menyebut bahwa istilah Rohingya tidak dikenal di Myanmar. Atas sikap pemerintah yang tidak mengakui keberadaan mereka tersebut, etnis Rohingya harus hidup menderita. Sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan dari turunan ke turunan, dari generasi ke generasi, mereka mengalami kehidupan yang sangat melarat dan tersiksa.
Selain hoax terkait masalah etnis Rohingya tersebut, keberadaan Saracen yang begitu aktif menyebarkan hoax dan ujaran kebencian di media sosial juga begitu meresahkan masyarakat. Sindikat yang kerap menyebarkan berita bohong berbau SARA di media sosial tersebut, menggunakan beberapa grup “facebook” untuk menggalang lebih dari 800 ribu akun.
Ratusan ribu akun tersebut saban hari menyebarkan ujaran kebencian terhadap siapa saja, sesuai dengan pesanan yang mereka terima, yang konon dibayar hingga puluhan juta Rupiah, sebagai imbalan atas jasa mereka menyebar hoax dan ujaran kebencian bermuatan SARA tersebut.
Jonru Ginting, juga telah berhasil megubah opini publik dengan beragam hoax yang disebarnya di media sosial. Jokowi dan Ahok, adalah orang yang paling sering dijadikannya sebagai bahan gunjingan lewat “meme” dan berita bohongnya tersebut.
Dan celakanya, berbagai hoax yang disebarnya tersebut dipercaya begitu saja oleh para pembacanya. Mereka membagikannya di grup-grup di facebook. Sehingga jadilah hoax tersebut menjadi konsumsi publik dan dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Tentang Ahok misalnya, sudah begitu banyak hoax yang menyerang tokoh jujur dan tegas itu. Bahkan sesudah dipenjara pun, Ahok tidak terlepas dari hoax. Sebutlah hoax tentang Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang pernah diisukan mengatur vonis Ahok, serta hoax yang menyebut bahwa penangguhan penahan Ahok telah disetujui oleh pemerintah, yang membuat para pembenci Ahok geram.
Dan hoax terbaru tentang Ahok adalah beredarnya sebuah fotonya yang sedang berenang dengan seseorang di media sosial. Menanggapi hal tersebut, banyak “netizen” yang mempersoalkannya. Mereka tidak terima jika Ahok yang masih menjalani masa tahanan itu, bisa begitu bebasnya berenang.
Dan lagi-lagi, itu hanya hoax. Ternyata foto tersebut adalah foto yang diunggah media online kompas.com pada 15 Februari 2014 lalu, ketika dia masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Begitu pula Jokowi. Jonru pernah menyebut bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa, serta mempertanyakan keaslian orang tuanya. Jokowi juga dituduh sebagai antek komunis serta pro Tiongkok. Jokowi juga ramai disebut sebagai pemimpin yang anti-Islam pasca ditandatanganinya Perppu tentang Pembubaran Ormas bulan Juli lalu.
Pada bulan Juli lalu, Jokowi juga pernah dituduh mengirim surat ke berbagai pihak untuk meminta dukungan dalam menghadapi Pilpres mendatang. Namun, pihak Istana segera menyampaikan klarifikasi tentang hal tersebut. Bahwa itu adalah hoax.
Sesungguhnya, masih banyak lagi hoax dan ujaran kebencian yang menimpa Jokowi. Namun, beliau tetap santun, tenang dan tidak terpancing emosi. Beliau juga tidak curhat di akun facebook atau twitternya apalagi di depan kamera televisi. Karena itu bukanlah gaya seorang Jokowi. Jokowi bukanlah seorang pemimpin yang cengeng. Namun, beliau menjawab segala hoax tersebut dengan kreja, kerja dan kerja.
Atas terror media sosial yang menyerang kita saat ini, dengan mengutip dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta beberapa media “mainstream” lainnya, ada beberapa cara untuk menangkal hoax yang setiap saat dapat menyerang kita.
Cara pertama adalah perhatikan judul serta sumber beritanya, apakah bersifat provokatif yang membuat hati langsung ingin membenci orang atau kelompok lain. Yang kedua, Janganlah kita terlalu cepat percaya dengan sebuah berita.
Lakukan “cross check” dengan sumber berita terpercaya lainnya, termasuk dari media-media konvensional. Selanjutnya, perhatikan sumber beritanya, apakah kredibel dan bisa diverifikasi, ataukah dari sumber “abal-abal” yang tidak jelas.
Di samping itu, peran serta semua pihak termasuk pemerintah untuk mengedukasi masyarakat untuk melawan dan mengidentifikasi hoax juga sangat penting. Dibutuhkan juga pengajaran sejak dini kepada masyarakat tentang ciri-ciri berita fitnah.
Dan yang terakhir adalah, diskusikanlah dengan orang lain setiap berita yang dibaca dan jangan terlalu cepat menyebarluaskannya sebelum mengetahui kebenaran berita tersebut. Dengan demikian, kita akan terhindar dari teror media sosial yang saat ini sedang menyerang kita
Hoax dan ujaran kebencian berbau SARA adalah musuh kita bersama. Dengan kita senantiasa kritis terhadap setiap informasi/berita di internet dan media sosial, kita sudah turut menangkal bahaya hoax. Satu lagi mungkin, sekalipun ini agak sulit: kurangi merumpi, perbanyak membaca. Karena tingkat literasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk mengalahkan serangan hoax. Merdeka!!
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar