Kamis, 07 September 2017
Ahok Rela “Di Sembelih” Untuk Selamatkan Indonesia
Berita Dunia Jitu - Sesungguhnya, sejak hari pertama resmi mencalonkan diri sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi 5 tahun lalu, Ahok sudah ramai “dibully” oleh mereka yang kurang menghargai kebhinnekaan, oleh mereka yang menganggap bahwa dipimpin oleh seseorang yang berbeda latar belakang dengan mereka sebagai sesuatu yang tidak pantas.
Tetapi karena ketika itu posisi Ahok bukanlah sebagai orang nomor satu, nada-nada sinis berbau SARA itu berlalu begitu saja. Jokowi-Ahok akhirnya berhasil memenangi kontestasi lima tahunan itu setelah bersaing ketat dengan calon gubernur petahana di putaran kedua.
Baru dua tahun menjabat sebagai wakil gubernur, Ahok harus ditinggal pergi oleh Jokowi. Jokowi dipercaya oleh lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia untuk menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini lewat sebuah pemilihan presiden yang juga begitu riuh ketika itu.
Berulang-ulang Ahok berujar di media bahwa sesungguhnya ia tidak senang ditinggal sendiri mengemban tanggung jawab yang mahaberat itu, untuk mengurus ibukota Negara, serta kurang lebih sepuluh juta penduduknya dengan segala keruwetannya.
Sekalipun Ahok “naik pangkat” menjadi gubernur, hal itu tidak serta merta membuatnya bahagia. Ahok sadar betul bahwa di samping tantangan berat untuk membenahi Jakarta yang harus dikerjakannya, ada satu lagi masalah yang membuatnya galau: isu SARA yang kerap dialamatkan kepadanya yang senantiasa bergema sekalipun gema itu kadang muncul dan tenggelam.
Ketegaran dan keteguhan hati seorang Ahok membuatnya mampu melewati segala kerumitan yang dihadapinya untuk menuntaskan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sudah begitu banyak yang dikerjakannya bagi warga DKI. Permasalah akut yang selama bertahun-tahun dihadapi oleh warga, di tangan Ahok, diatasi dengan baik.
Sungai-sungai menjadi bersih, jumlah daerah langganan banjir menurun drastis. Normalisasi sungai yang gencar dilaksanakannya, terbukti mampu menanggulangi masalah banjir di Jakarta. Jumlah titik banjir yang mencapai 2.200 titik, ketika Ahok baru menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu, hingga Februari 2017, hanya tersisa 80 titik lagi. Banjir yang menjadi masalah kronis di Jakarta selama bertahun-tahun, hanya kurang dari lima tahun, berhasil diatasi oleh Ahok.
Begitu pula dengan penataan lalu lintas, transportasi dan infrastruktur pendukungnya, dikerjakan secara baik oleh Ahok. Lewat berbagai terobosan tersebut, tingkat kemacetan di Jakarta dapat diminimalisir. Pun moda transportasi di DKI diremajakan oleh Ahok, yang membuat wajah DKI lebih indah.
Perhatian Ahok terhadap nasib buruh juga begitu nyata. Selama Ahok menjabat, ia telah menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta hingga hampir tiga kali lipat. Dari hanya Rp1.529.150,- pada tahun 2012, dinaikkan hingga Rp 3.355.750,- untuk tahun 2017.
Masih banyak lagi pencapaian Ahok yang membuat warga Jakarta hidup lebih sejahtera: seperti KJP bagi siswa kurang mampu, reformasi birokrasi yang diacungi jempol oleh banyak pihak dan beberapa kali mendapat penghargaan dari berbagai lembaga atas keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi yang digagas dan dilaksanakan oleh Ahok tersebut, penyelamatan uang Negara hingga triliunan Rupiah, serta prestasi lainnya.
Akan tetapi, ada pihak-pihak yang terganggu atas semua pencapaian dan sepak terjangnya. Isu SARA kembali dihembuskan begitu kencangnya. Ahok “dibully” beramai-ramai. Ia dituduh menista agama yang membuatnya harus dihukum penjara selama dua tahun.
Ahok ramai diperbincangkan di media sosial dan media-media lainnya. Ada yang pro ada pula yang kontra. Tetapi semua itu tidak membuatnya mundur. Ahok menghadapinya dengan kepala tegak. Ia tidak berhenti berjuang untuk warganya. Berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial di DKI Jakarta.
Jauh-jauh hari sebelum Pilkada DKI Jakarta yang cukup panas itu digelar, sesungguhnya Ahok kerap kali diserang berita-berita bohong serta ujaran kebencian berbau SARA. Adalah Amien Rais yang berulang kali menyerang Ahok dengan berbagai berita bohong.
Dalam berbagai kesempatan, Amien Rais menyebut Ahok sebagai aktor utama atas sejumlah kasus korupsi di Jakarta. Ahok disebutnya telah menggunakan dana CSR untuk kepentingan pribadi dan telah melakukan tindak pidana korupsi atas pembangunan taman BMW dan pengadaan lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang belakangan telah diklarifikasi KPK bahwa mereka tidak menemukan adanya indikasi korupsi di sana.
Amien Rais sepertinya memang memiliki dendam kesumat kepada Ahok. Di samping dituduh sebagai koruptor dan menganggap Ahok sebagai seorang pemimpin yang sombongnya setinggi langit karena Ahok dianggapnya tidak pro rakyat kecil, Amien Rais juga menyebut Ahok sebagai si sontoloyo, si pekok, dewa ingusan kecil, kaki tangan para konglomerat pemodal, bahkan menyebutnya sebagai seorang “Dajjal” yang harus dilawan.
Haji Lulung, Fadli Zon dan Fahri Hamzah juga menjadi orang yang amat rajin menyerang Ahok dengan berbagai sindiran pedas. Berbagai macam tuduhan dialamatkan kepada Ahok, sekalipun berbagai tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Atas segala sindiran tajam dan segala kebohongan yang secara terus-menerus mereka tebar di ruang-ruang publik tersebut, akhirnya sebagian besar rakyat Jakarta menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Ahok yang jujur dan baik hatinya itu, Ahok yang anti-korupsi itu, Ahok yang berjuang mati-matian untuk warga Jakarta, Ahok yang mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk Jakarta yang lebih baik, Ahok yang “ngantor” pagi-pagi sekali dan pulang larut malam untuk melayani masyarakat DKI itu, harus menelan pil pahit. Lebih dari 50 persen warga DKI tidak lagi menghendakinya sebagai gubernur.
Tidak lama berselang setelah Ahok dinyatakan gagal mempertahankan kursinya di Balaikota, Ahok kembali harus diuji kesabaran dan keteguhan hatinya. Ia divonis penjara selama dua tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Vonis tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang hanya menuntutnya hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Ahok, sosok yang sungguh sangat super dan langka itu, hanya oleh karena ketegasan dan kejujurannya, harus dikirim ke “tempat tinggal” barunya setelah ia divonis bersalah. Di balik jeruji yang dingin itu, Ahok harus melewatkan ratusan malam tanpa didampingi istri dan anak-anak yang dicintainya.
Sekali lagi, Ahok yang berjuang mati-matian untuk kesejahteraan rakyat Jakarta harus menjadi pesakitan. Sungguh sangat tragis. Tragis sekali. Namun Ahok menerimanya dengan lapang dada. Ia tidak memberontak. Ia tetap tegar.
Ketegaran dan ketulusan hati Ahok ditunjukkan dengan keputusan besarnya membatalkan niatnya naik banding atas kasus yang menimpanya. Naik banding untuk mencari keadilan atas kasus yang menimpanya, sesungguhnya adalah haknya. Namun Ahok tidak mempergunakan hak itu.
Ahok lebih mengutamakan kepentingan bangsa, sebuah kepentingan yang lebih besar. Keputusannya untuk tidak banding, semata-mata hanyalah untuk mendinginkan suasana Jakarta yang masih panas saat itu. Ia melakukannya untuk kepentingan dan kedamaian bersama, kedamaian seluruh masyarakat Indonesia. Supaya perpecahan yang telah terjadi tidak semakin parah.
Kehebatan, ketegaran, kejujuran dan ketulusan Ahok, juga diimbangi oleh istrinya, Veronica Tan. Atas vonis dua tahun yang diterima suaminya, saya sangat yakin, sebagai manusia biasa, pastilah hatinya remuk, pastilah pikiran dan perasaannya hancur lebur, tetapi ia tetap tegar, tetap kuat, tetap teguh.
Ibu Vero sangat sadar, bahwa ia bukan lagi hanya sekedar istri seorang gubernur yang dipenjara karena ketegasan dan kejujurannya, bukan lagi hanya sekedar ibu bagi anak-anak mereka, tetapi ia adalah ibu bagi banyak orang. Ibu bagi mereka yang tertindas dan teraniaya. Ibu yang menjadi teladan bagi para ibu di negeri ini.
Sekalipun badai begitu kencangnya menerpa, tetapi ia tetap tenang, bahkan masih memikirikan nasib dan kepentingan orang banyak. Veronica Tan tidak menentang keputusan yang dibuat oleh Ahok, suaminya, untuk membatalkan niatnya naik banding atas kasus yang menimpanya.
Sebagai seorang istri yang harus menanggung beban yang lebih berat atas dipenjaranya Ahok suaminya, sangat wajar untuk “ngotot” supaya Ahok menempuh langkah hukum untuk mencari keadilan. Tetapi ia tidak melakukan itu. Ia memilih untuk mendukung keputusan suaminya. Veronica Tan memilih untuk taat dan tunduk sebagai seorang istri. Sebab ia sadar bahwa Ahok membuat keputusan besar itu semata-mata hanya untuk sebuah kepentingan yang lebih besar.
Menanggapi ketidakadilan yang dialami Ahok, para pendukungnya berdemo di mana-mana. Ratusan ribu orang di berbagai kota di Indonesia bahkan di puluhan kota di berbagai negara di belahan dunia, secara sukarela berkumpul tanpa “embel-embel”. Mereka menyalakan lilin sebagai simbol perlawanan terhadap kegelapan sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan lagu-lagu nasional yang menggetarkan hati dan jiwa, sambil meneriakkan NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati.
Namun dari penjara, Ahok menghimbau para pendukungnya untuk menghentikan segala aksi tersebut. Lewat surat yang ditulisnya untuk seluruh simpatisannya, yang dibacakan dengan deraian air mata oleh sang istri, Ahok mengirimkan pesan yang sungguh menyejukkan hati, ia mengirimkan pesan damai, ia mengirimkan pesan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ahok tidak menghujat atas ketidakadilan yang diterimanya. Ahok tidak memprovokasi para simpatisan supaya terus berdemo supaya ia dibebaskan. Ahok tidak menyalahkan siapa-siapa sebagaimana jamak kita temui dilakukan oleh orang-orang yang nyata-nyata telah melanggar hukum.
Namun, Ahok berpesan untuk tidak lagi berdemo yang menurutnya hanya akan menimbulkan kemacetan dan kerugian ekonomi. Saling demo menurutnya hanya akan memberi celah bagi pihak-pihak yang ingin menunggangi aksi demo tersebut. Lewat suratnya, ia mengajari kita untuk saling mengampuni dan saling menerima.
Seandainya saja Ahok divonis bebas oleh hakim kala itu, atau divonis sesuai dengan tuntutan jaksa , maka Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia akan bergejolak hebat. Ahok “sang penista” itu akan didemo habis-habisan dengan satu tuntutan tunggal: Penjarakan Ahok!!!
Seandainya juga Ahok tidak dipenjara, maka mereka yang rutin berdemo selama hampir satu tahun terakhir akan dengan mudah berkata: Jokowi telah mengintervensi proses peradilan terhadap Ahok. Tindak selanjutnya apa? Mereka akan secara nyata-nyata mengarahkan “panah” mereka terhadap Jokowi. Sambil mengepal tangan, mereka akan berteriak-teriak: Turunkan Jokowi, Turunkan Jokowi!!
Ahok memang “harus dipenjara.” Dia telah “disembelih” untuk menjadi korban demi kedamaian dan ketentraman Indonesia, demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, demi terjalinnya kembali keharmonisan sesama anak bangsa yang begitu beragam. Ahok adalah “tumbal” untuk mempersatukan kembali Indonesia.
Ahok adalah sosok yang sungguh luar biasa. Yang tetap teguh sekalipun diterpa angin, yang tetap kuat sekalipun dihina, dicaci dan dimaki, yang tidak goyah sekalipun banyak godaan dan kesempatan, yang tidak membenci sekalipun direndahkan dan dipersalahkan.
Ahok adalah guru, yang layak digugu dan ditiru. Meneladani perjuangan, ketulusan, kejujuran, ketegasan, kehebatan, dan ketegaran hatinya, bagi saya adalah sebuah keharusan. Terima kasih Ahok telah mengajari kami tentang ketulusan, kejujuran, ketabahan, saling mengampuni, kecintaan terhadap NKRI dan persaudaraan yang sesungguhnya.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar