Senin, 18 September 2017
Geliat Ekonomi 6.5% Ala Rizal Ramli
Berita Dunia Jitu - Polemik kebijakan ekonomi dan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan Jokowi kian meluas dalam pembicaraan publik. Utamanya para kelompok oposisi yang terus menggoreng isu hutang, bahan pangan yang masih mahal, tingkat pertumbuhan yang masih berkutat diangka 5 persen dan BUMN yang masih menyisakan banyak hutang dan beban kepada negara. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sedang berupaya memperbaiki semuanya dengan terus kerja…kerja…kerja tanpa mengenal hari dan waktu,.
Adalah ekonom Rizal Ramli, mantan Menko Maritim yang dikenal juga sebagai “Rajawali Ngepret” melempar gagasan bagaimana menaikkan angka pertumbuhan yang 5 % menjadi 6.5 persen. Ide Rizal Ramli bukanlah “rocket science”, orang awam seperti sayapun dapat memahaminya dengan mudah. Rizal Ramli memulainya dengan memberi contoh di negara-negara Eropa, China dan banyak belahan dunia lainnya, kala ekonomi melambat yang dilakukan pemerintah adalah memompa sector-sektor ekonomi agar menggeliat dan melonggarkan beban pajak kepada pelaku usaha.
Raihan 6.5 persen dalam waktu dua tahun bukanlah hal yang mustahil. Agresifitas pemerintah mengejar penerimaan pajak membuat kalangan dunia usaha terganggu, sehingga aktivitas investasi tertunda dan menghambat pertumbuhan sector lainnya. Jadi,” ketika ekonomi lagi susah jangan kejar pajak dulu. Pajak itu bisa naik dengan sendirinya manakala pertumbuhan ekonomi kembali menggeliat”. Dalam situasi ekonomi yang sudah kondusif seperti ini, pemerintah tinggal menyiapkan skema investasi yang salah satunya menggunakan skema Build Operate Transfer (BOT) dan Build Own Operate (BOO) yang jauh lebih menarik bagi investor.
Selain itu, perbankan juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya dalam menghidupkan perekonomian bangsa, Akibat adanya system BOT dan BOO, kredit perbankan yang selama ini pertumbuhannya hanya 10 % dapat bergerak naik dan bisa tumbuh ke angka 15-17 %.
Keadaan di atas diperparah dengan paket ekonomi yang dikeluarkan yang kelihatan kurang efektif. Ini seperti kebijakan ecek-ecek hanya cantik diperencanaan dan sulit diimplementasikan, sehingga perlu kebijakan terobosan yang memudahkan dunia usaha yang juga menyelamatkan usaha kecil dan usaha menengah,
Rizal Ramli juga menyoroti kenapa harga pangan masih relative tinggi? Sangat disayangkan harga daging masih sangat mahal, bahkan bisa dua kali dari harga daging yang dijual di pasar internasional. Solusi impor bukan sesuatu yang buruk asalkan bisa dikelola dengan benar, khususnya dalam penetapan kuota impor. Jadi, siapapun boleh impor, tapi harus menggunakan tarif yang melindungi industry di Indonesia. Jangan sedikit-sedikit merengek dan dibiasakan ngeles daya beli tidak turun walau harga selangit agar kuota impor tetap dibuka. Begitu juga dengan konsumsi rumah tangga tak boleh luput dari perhatian pemerintah karena konsumen rumah tangga memegang pernanan penting, memegang peranan setengah dari perekonomian nasional.
Salah Kelola BUMN
Perusahaan pemerintah lahir atas karena kepentingan nasional, menjadi salah satu ujung tombak untuk mendorong kemajuan ekonomi nasional dan melahirkan kesejahteraan rakyat. Tentu problem dalam pengelolaan BUMN tidak bisa hilang 100%, karena setiap rezim kepemimpinan politik menghadapi dinamikanya masing-masing.
Meski kita menyadari bahwa problem-problem manajerial dalam BUMN tidak bisa betul ditekan secara habis, namun ada satu hal yang penting unutk kembali diperjuangkan. Revaluasi dan sekuritisasi asset. Dua hal ini seharusnya menjadi agenda bersama dalam medorong ekonomi nasional untuk tumbuh lebih baik lagi.
Proses yang lambat dan sebagian salah arah yang dilakukan di BUMN seperti PT Garuda yang rugi besar tahun ini karena pembelian pesawat long haul tidak boleh terulang. BUMN perlu melakukan revaluasi dan sekuritaisasi asset. Revaluasi dan Sekuritisasi asset harus digencarkan dan dilaksanakan secara konsisten agar kita tahu sebenarnya bisnis kita sedang dalam posisi apa antara asset dan modal kerja, serta sejauh apa bisnis tetap aman dilakukan. Ini dimaksudkan agar ada mesin pertumbuhan yang sehat, berkelanjutan di luar APBN, terutama di luar Jawa.
Terkait soal revaluasi, banyak sekali BUMN yang sampai hari ini masih banyak asset-aset yang tidak terinventarisir. Bahkan, jika kita telusuri lebih jauh banyak sekali asset-aset BUMN yang pada akhirnya berpindah tangan kepemilikan kepada pihak swasta atau juga pejabat direksi/komisaris BUMN. Lebih-lebih BUMN yang memiliki asset mati dan lahan secara luas disebuah daerah tertentu, dalam periode tertentu asset lahan ini dibiarkan tidur tidak dikelola BUMN. Hal-hal seperti ini yang akhirnya membuat konflik-konflik sengketa lahan dengan penggarap masyarakat. Polemik ini juga dikarenakan BUMN tidak mau mengelola dengan baik bersama masyarakat.
Ketidak jujuran pejabat setingkat direksi di dalam BUMN yang menyebabkan asset-aset negara berpindah tangan kepada pihak swasta atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini juga yang lambat laun mematikan perusahaan itu sendiri karena mengecilnya asset secara otomatis daya tawar perbankan juga semakin kecil.
Sedangkan sekuritisasi asset sendiri juga masih terbilang lemah. Tukar guling asset BUMN kepada pihak swasta juga sering terjadi. Sebenarnya, penjualan asset BUMN adalah sesuatu hal yang diperbolehkan secara hukum. Namun celah hukum ini sering kali dimanfaaatkan oleh para pejabat direksi/komisaris BUMN untuk mengambil keuntungan dimasa akhir jabatannya. Skema investasi Build Operate Transfer (BOT) dan Build Own Operate (BOO) adalah salah satu skema yang lebih menarik bagi investor.
Apa yang dituturkan oleh Rizal Ramli terkait revaluasi dan sekuritisasi asset adalah ujung tombak dari perombakan BUMN untuk lebih punya integritas atas dasar kepentingan bangsa dan tanggung jawab pertumbuhan ekonomi nasional.
Menteri Rini Soemarno, yang selama ini mendorong proses holdingsasi BUMN harus juga secara serius melakukan re-inventarisasi asset pemerintah. Agar kelak pemimpin perusahaan berikutnya tidak terbebani dan terjebak dengan utang dan tanggung jawab asset yang nilai dan keberadaannya di wilayah abu-abu.
Jika Presiden Jokowi bisa mengarahkan kepada dua kementrian ini yakni Menteri Keuangan dan Menteri BUMN untuk lebih mengacu pada kepentingan nasional, maka apa yang dinyatakan oleh Rizal Ramli bisa saja terjadi. Menggenjot pertumbuhan ekonomi 6,5% , adalah sesuatu yang memungkinkan jika instrument perbankan, pajak dan sektor bisnis-induistri bisa memiliki visi yang sama untuk itu.
Pencapaian ekonomi Rezim Jokowi akan dipertaruhkan pada evaluasi tahun 2018. Jika, menteri-menteri Jokowi gagal melahirkan pertumbuhan ekonomi nasional di angka 6,5 %, maka konsekwesi berat ada pada Presiden Jokowi kelak. Publik luas masih secara emosional mencintai figure Jokowi, maka Presiden Jokowi harus berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi pada angka 6,5%.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar