Kamis, 31 Agustus 2017
Tionghoa Setelah 72 Tahun Kemerdekaan
Berita Dunia Jitu - Hiruk-pikuk perisitiwa Pilkada DKI belum lama ini memberikan aroma tak sedap terhadap kondisi hubungan Tionghoa dengan yang bukan Tionghoa. Politik rasialis yang diseret elit politik ke rana publik menjadi bahan bakar mental perusak hubungan harmonis anak bangsa dan akan terus terbawa kealam bawa sadar masyarakat kita sehubungan dengan persoalan ini.
Persoalan klasik Tionghoa di Indonesia tak pernah lepas dari dominasi kekuatan ekonomi sehingga berdampak stigma negatif yang akhirnya bermuara pada diskriminasi. Sebenarnya, kalau mau diadakan kajian yang lebih objektif, jujur, dan ilmiah, warga Tionghoa yang jadi konglomerat sebenarnya tak lebih 175 orang, sekitar 5000 pedagang menengah dan 250.000 pengusaha kecil. Sisanya atau mayoritas (sekitar 9,5 juta) adalah petani, nelayan, dan buruh dan rata-rata miskin (Leo Suryadinata, 2005). Terkait 70% atau 90% konsentrasi ekonomi kita dikuasai etnis Tionghoa, hal ini juga jelas hiperbolik karena dominasi kegiatan ekonomi Indonesia sejujurnya ada pada BUMN. BUMN besar seperti di sektor telekomunikasi dan pertambangan.
Memperbincangkan Tionghoa kaya, kita juga jangan melupakan fakta bahwa di negeri ini, juga ada jutaan warga Tionghoa miskin. Ingat jumlah mereka lebih banyak daripada jumlah Tionghoa kaya. Mereka seringkali menjadi korban langsung manakala terjadi konflik sosial atau politik.
Dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi, Bung Hatta pernah berkata, “ Takkala kedaulatan dipulihkan kepada bangsa Indonesia, sebagian dari orang Tionghoa memilih menjadi warga negara, sebagian memilih ke warganegaraan Tiongkok. Namun dalam pergaulan sehari-hari tidaklah begitu kentara. Dimata rakyat mana yang sini, mana yang sana, yang kentara hanya cuman bahwa kedudukan ekonomi golongan Tionghoa lebih kuat dari pada sediakala. Masalah ini hanya dengan politik perekonomian secara tegas, yang wujudnya menaikan ekonomi rakyat lemah sampai tingkat perekonomian yang lebih maju. Dengan dasar-dasar yang berlaku dalam kapitalisme masalah ini tidak terselesaikan.” ( Star Weekly 26 Januari 1957).
Itul sebabnya, salah satu solusi penting yang harus dilakukan di bidang ekonomi ialah pemerintah harus turun tangan berkaitan dengan upaya membangun sistem perekonomian yang memberikan kesempatan dan peluang pada golongan ekonomi rakyat.
Warisan Kolonial
Dalam banyak literatur dan seminar, sejarawan Onghokham (almarhum) sering berupaya menjadi pemutus warisan pecah belah yang di buat oleh kolonial Belanda. Onghokham selalu menjelaskan bagaimana pada abad ke 19 Belanda mulai menerapkan politik pecah belah dan sistem apartheid yang sempat berkembang subur di Afrika Selatan.
Di masa kolonial, Belanda membagi masyarakat Indonesia dalam tiga golongan, pertama, golonga Eropa atau Belanda, kedua Timur Asing termasuk Tonghoa, India dan Arab, dan golongan ketiga pribumi yang dibagi dalam suku bangsa hinga muncul di Jakarta istilah Kampung Ambon, Kampung Bali Kampung Jawa, Kampung Bugis dan sebagainya.
Sistem kolonialis ini menyuburkan sikap rasialis, apalagi orang Tionghoa lebih dikondisikan dalam perdagangan. Kekuatan ekonomi membuat mereka menjadi sasaran empuk pengambinghitaman. Awalnya oleh pemerintahan Belanda disusul pemerintahan Orde Baru dan terasa hingga sekarang. Kuatnya sistem ekonomi di kalangan masyarakat Tionghoa dan pengondisian lewat sistem pemerintahan pada akhirnya menguatkan pandangan umum di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan uang.
Pemahaman akan akar sejarah menjadi sangat penting dalam memberikan iklim sejuk sehubungan dengan hubungan golongan Tionghoa dengan yang bukan Tionghoa. Sejarah mencatat adanya percampuran darah pribumi dan Tionghoa sejak berabad lalu. Sarjana Belanda C Lekkerkerker menyebutkan 80 % penduduk pantai utara Jawa berdarah Tiongkok.
Pemahaman sejarah akan sangat membantu menghapus stigma negatif kedua belah pihak sehingga masyarakat Indonesia akan berfikir dua kali untuk melakukan hal-hal negatif, siapa tahu dalam darah mereka mengalir warisan gen dari Tiongkok.
Sehubungan prilaku yang perlu dijauhkan dari masyarakat kita, pertama anggapan golongan masyarakat Tionghoa anasionalis dan asosial. Padahal dalam sejarah pergerakan kemerdekaan banyak tokoh-tokoh Tionghoa yang ikut memperjuangkan kemerdekaan misalnya, Laksamana Jhon Lie, Lie Eng Hok, Yap Tjwan Bing, Lim Koen Han dan Oei Hok San. Juga mereka yang berjiwa nasionalis setelah kemerdekaan seperti Yap Thian Hien, Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie dan Rudy Hartono. Pribadi-pribadi ini menonjol dalam integritas pada Indonesia.
Perlu digaris merahi sebelum Indonesia berdiri 17 Agustus 1945, etnis Tionghoa sudah ada di Nusantara dan mereka hidup bersama-sama dalam masyarakat. Jadi pertanyaan mayor, apakah mereka masih saja di bilang non pribumi?
Berbagai upaya perlu dilakukan secara intens dalam menghapus prasangka rasial yang dipelopori pemerintah dan kedua belah pihak untuk menciptakan suasana yang harmonis, niscaya Indonesia akan menjadi bangsa yang tak sekedar besar tetapi kuat.
Momentum setelah 72 tahun Indonesia semoga masyarakat Indonesia menerima keberadaan saudara-saudaranya dari etnis Tionghoa secara utuh dan dari sisi etnis Tionghoa dengan bangga menyebut dirinya, “ Saya adalah Indonesia dan Indonesia adalah saya.” Tidak ada lagi pameo once Chinese always Chinese ( sekali China tetap China).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar