Kamis, 17 Agustus 2017
Merdeka, Antara Simbolik Atau Substantif
Berita Dunia Jitu - Kemerdekaan tak memiliki makna apapun untuk mereka yg telah lama hidup di dalam kemiskinan, (Tan Malaka, Merdeka 100%).
Tidak terasa telah puluhan tahun semenjak di proklamirkannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 silam. Sekarang usia kemerdekaan itu telah berumur 72 tahun ditengah-tengah atmosfer manusia dan masyarakat yang memilki sifat dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus.
Indonesia, negara yang dikenal dengan empat pilar kebangsaannya yang sesuai dengan konsensus para founding fathers bangsa terdahulu dengan jalan musyawarah mufakat, yakni: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Negara yang dinamika demokrasi sistem ketatanegaraannya berubah-ubah sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman, misalnya demokrasi terpimpin dari orde lama, demokrasi pancasilanya orde baru, dan demokrasi berlandaskan hukum di era reformasi yang dirasakan saat ini.
Negara yang berkelimpahan sumber daya alam serta memiliki sumber daya manusia yang pandai berkolaborasi dalam menghadapi modernitas dan masa transisi negara berkembang menuju negera maju, insyaallah.
Negara yang menerima segala bentuk perbedaan, baik dari segi suku, agama, ras, maupun antar golongan agar tercipta keharmonisan dan tak terjadi ketimpangan dan kegentingan dalam berbangsa dan bernegara.
Diusia kemerdekaan yang ke-72 tahun itu, maka pastinya haruslah dilakukan perayaan. Misalnya, pesta kemerdekaan dalam bentuk seremoni nasional yang diadakan setiap tahunnya, sebagai wujud simbol bahwa kemerdekaan harus dirasakan bersama, dimulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas, mulai dari Kepala negara, elite politik, serta rakyat sang pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara.
Setelah seremoni nasional serta pesta kemerdekaan lainnya, Lantas, apakah kemerdekaan itu telah mencapai titik nadirnya?, Apakah telah mencapai centrum makna substansialnya?, Atau hanya sekedar pemaknaan simbolis sebagai tanda kebebasan keterjajahan dari bangsa asing secara de facto dan de jure. Tentunya itu harus kita kembalikan kepada realita yang dirasakan sekarang.
Melihat konteks keindonesiaan sekarang, dimana indonesia yang menganut sistem demokrasi berlandaskan hukum sesuai dengan amanat konstitusi. Beberapa waktu yang lalu sempat mengalami keterguncangan dan menjadi polemik hangat para khalayak dari berbagai kalangan, tentang isu upaya penggantian ideologi negara yang diduga akan dilakukan oleh ormas HTI, meskipun pada akhirnya dibubarkan atau dicabut badan hukumnya melalui Perppu no.2 tahun 2017.
Dilansir dari kompas.com, Menurut Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM-UIN) Jakarta, Ali Munhanif, pembubaran HTI dikarenakan adanya kegentingan memaksa yakni penggantian ideologi pancasila menuju negara Khilafah, serta langkah yang diambil pemerintah pun adalah langkah progresif dan tepat waktu, karen sudah terlalu banyaknya organisasi yang berorientasi pada radikalisme dan kekerasan. Selain itu, Ormas HTI dibubarkan karena Dari sisi hukum, adalah langkah hukum yang demokratis dalam menata keberadaan ormas.
Selain itu, Ada pula isu-isu yang tak kalah hangat diperdebatkan bahkan sampai menciptakan kedua kubu yang saling bergesekan, dimulai dari pilkada jakarta yang menonjolkan politik identitas, demo berjilid-jilid akibat indikasi keterpelesetan lidah seorang pejabat negara, hak angket perwakilan rakyat terhadap lembaga pemberantasan korupsi, presidential threshold yang dinilai inkonstitusional, dan lain sebagainya.
Satu hal yang pasti dan tak bisa ditolak dari isu-isu yang disajikan media dan diperdebatkan bersama ialah tak lain dan tak bukan memilki unsur kepentingan di dalamnya, baik itu kepentingan individu maupun kelompok tertentu.
Isu- isu nasional yang disebut diatas sempat lama menjadi polemik di media elektronik televisi, terutama dari kalangan elite politik yang notabenenya adalah perwakilan rakyat. Dan semoga saja isu-isu yang hangat diperdebatkan tersebut oleh wakil rakyat kita dapat berimplikasi terhadap kepentingan dan kesejahteraan bersama (rakyat) sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara, bukan hanya sekedar topeng kepentingan dan kesejahteraan elite tertentu apalagi hanya sebatas mempertahankan status quo dengan menggunakan alibi untuk kepentingan rakyat memakai jimat negarawan dan wewangian retorika.
Serta semoga kemerdekaan yang setiap tahunnya dirayakan dapat dirasakan esensi dalam hal pengimplementasiannya oleh rakyat dari berbagai sisi, baik itu ekononomi, infrastruktur, pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga kemerdekaan tak hanya diejewantahkan dalam bentuk nyanyian, upacara, atau apapun itu yang hanya sebatas simbolik, tetapi harus benar-benar mencapai makna substansialnya.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar