Kamis, 17 Agustus 2017
Anies, Ahok, Penjara, Dan Kebebasan
Berita Dunia Jitu - Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 72 tinggal hitungan jam. Tanggal keramat itu, 17 Agustus, selalu berhasil membangkitkan semangat Bangsa Indonesia untuk mengenang kembali sejarah kebangsaan negeri ini. Mengenang kembali jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan kita, untuk membidani kelahiran negara Republik Indonesia, merawat serta mempertahankannya. Dan yang paling penting tentunya, memaknai kembali arti kemerdekaan.
Ya, kemerdekaan, kebebasan.
Tapi di artikel ini saya tidak akan mengupas pemaknaannya secara luas dan mendalam. Apalah saya ini hehe….
Saya hanya tergelitik untuk mengkaitkan kata itu, kebebasan, dengan dua sosok sentral dalam Pilkada DKI 2017 : Anies Rasyied Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama. Dua orang itu bisa dibilang pemeran utama dalam drama Pilkada DKI 2017 yang dikenal paling membuat jagad perpolitikan kita gonjang-ganjing. Membuat orang-orang waras yang terlibat langsung, maupun yang mengamati dengan seksama, maupun yang sekedar menyimak geleng-geleng kepala, tepok jidat sendiri, mual-mual maupun beser mendadak. Beser menyaksikan Pilkada yang berlepotan lumpur dan diwarnai bau menyengat amisnya SARA.
Cukup sudah. Ini bukan tentang Pilkada DKI. Ini tentang tokoh-tokoh sentralnya.
Anies dan Ahok, bisa dikatakan berada dalam posisi yang diametral, berlawanan, berseberangan, bahkan bertolak belakang. Anies pemenang Pilkada, sebentar lagi dilantik menjadi gubernur, bersih (dari prestasi), tidak (belum) terkena kasus hukum apa pun, dan dalam kondisi bebas merdeka (termasuk bebas menerobos antrian kendaraan, dibantu voorijder pula). Ringkasnya, Anies orang yang bebas. Itu yang terlihat oleh kita.
Sebaliknya Ahok. Dia kalah Pilkada, terkena kasus hukum (betapapun aneh kasusnya), divonis bersalah, dan sekarang berada dalam penjara. Ahok bukan orang bebas. Ahok berada dalam kurungan. Ruang geraknya terbatas dalam kamar sempit sekian kali sekian meter. Rutinitas hariannya bahkan diatur oleh orang lain. Kapan harus tidur, bangun, makan, olahraga, semua diatur. Ya, Ahok orang yang tidak bebas. Itu yang terlihat oleh kita.
Hidup Seperti Penjara
Teman saya, seorang yang shaleh dan bijak, pernah mengatakan bahwa dunia ini seperti penjara. Hidup ini bagaikan terpenjara. Seberapa luasnya penjara itu, tergantung “amal dan kebajikan” kita.
Jika sepanjang hidup kita selalu berada di kampung/desa/kota kelahiran, misalnya lahir, sekolah, bekerja, menikah, sampai meninggal dan dimakamkan di kampung yang sama, seluas itulah penjara kita. Jika kita tidak pernah ke luar Jawa, seluas Pulau Jawa itulah penjara kita. Jika tidak pernah berkunjung ke Singapura, Taiwan, Inggris atau negeri lainnya, kita bagaikan terpenjara di negeri sendiri.
Penjara bisa saja seluas bumi. Bulat atau datar, sekali lagi tergantung “amal dan kebajikan” kita. Bahkan tata surya, galaksi, seluruh luasan langit bisa berstatus sebagai penjara selama kita tidak mampu menembus batasnya.
Perlu dicatat, luasan bukan soal dimensi ruang saja. Waktu pun bisa membui kita. Komunitas, warna kulit, keyakinan, etnis pun bisa jadi penjara. Dan tentu saja pikiran dan kerangka pikir, imajinasi, gagasan merupakan penjara tak kasat mata bagi kita. Berapa banyak di antara kita yang terkungkung dangkalnya pikiran dan sempitnya imajinasi? Tak terhitung.
Penjara Anies dan Ahok
Kembali ke tokoh antagonis dan protagonis Pilkada DKI 2017. Anies, secara fisik dia bebas. Tidak berada dalam kurungan, tidak menjadi tahanan kota, pun tidak dicegah ke luar negeri. Anies memang terlihat bebas. Tapi dia membuat penjaranya sendiri.
Anies terpenjara oleh rekam jejaknya sebagai menteri yang dipecat. Ia terpenjara oleh jalan kelam yang dipilihnya untuk meraih tampuk pimpinan DKI Jakarta. Jalan kelam penuh lumpur intimidasi dan amisnya SARA. Ia terpenjara oleh gerombolan yang digunakannya sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan yang hanya akan berlangsung lima tahun itu. Ia tersandera untuk membalas budi mereka semua, mungkin dalam bentuk materi, fasilitas, jabatan, kesempatan kerja, kue proyek, apa saja yang mereka “inginkan”.
Ia terpenjara oleh janji-janji ngawurnya semasa kampanye, yang akan sulit untuk ditepati. Janji membangun rumah ber-DP nol rupiah, yang kemungkinan akan dibangun sebanyak nol unit. Janji menolak reklamasi, proyek jangka panjang dari pusat yang mau tak mau harus dilaksanakan. Janji meminimalkan banjir tanpa menggusur (mungkin dengan cara membuat warga bermimpi tidur di ranjang kering, sementara mereka terapung-apung di perahu tim SAR). Mungkin satu-satunya janji yang bisa ditepati adalah menganggarkan dana untuk ormas-ormas pemujanya.
Tentu saja, Anies terpenjara oleh kegemarannya beretorika. Kedoyanannya berkata-kata kosong. Selama masa kampanye, bahkan setelah menang, Anies gemar menyatakan sesuatu yang akan dengan mudah diubahnya bila pernyataan itu terbukti salah atau tanpa dasar. Misalnya saat mengatakan bahwa tanah negara di DKI digunakan untuk mendirikan mall. Dan masih banyak contoh lainnya. Ini tentunya termasuk janji-janji kampanye yang rajin dimodifikasi kalau kelihatannya tidak memungkinkan. Dan selamanya, Anies akan dikenal sebagai orang yang kata-katanya tidak bisa dipegang. Betapa malangnya. Seremeh-remehnya laki-laki dan perempuan adalah bila kata-katanya tidak bisa dipegang. Orang semacam itu tidak akan pernah dianggap serius. Kita tidak akan mau berurusan dengan orang semacam itu.
Ahok bagaimana? Fisiknya terpenjara, iya. Tapi jiwanya bebas merdeka. Ahok dikenal sebagai orang yang blak-blakan. Ia tidak pernah terkekang untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Ia tidak merasa terikat oleh kungkungan politik, hutang budi, “pertemanan” yang membuatnya harus mengatakan A saat kenyataannya adalah B. Bahkan, dipenjaranya Ahok dengan alasannya yang tidak masuk akal menunjukkan bahwa Ahok selalu mengungkapkan pikirannya dengan bebas. Ya, Ahok dipenjara karena ia mengabarkan kenyataan yang disaksikannya, tentang orang-orang tertentu yang melibatkan ayat-ayat suci untuk kepentingan politis.
Ahok tidak terpenjara oleh ambisinya untuk mempertahankan jabatan. Melepaskan jabatan dan bahkan melepaskan kebebasan fisiknya semudah buang hajat baginya. Yang merasa berat justru warga Jakarta, yang telah merasakan manfaat dan nikmatnya hidup dan bermasyarakat di bawah pimpinan salah satu gubernur paling melekat di hati ini.
Bahkan, Ahok tidak terpenjara oleh jeruji yang mengurung fisiknya. Badannya di dalam penjara, tapi rekam jejaknya, pikirannya, gagasannya, keyakinannya, integritasnya, semangatnya memancar melampaui batasan jeruji dan tembok penjara, menginspirasi banyak orang di berbagai pelosok negeri ini.
Sekarang, siapa yang terpenjara, siapa yang bebas?
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar