Berita Dunia Jitu - Berilah petunjuk kepada Presiden Bapak Joko Widodo. Gemukkanlah badan beliau karena kini terlihat makin kurus,” begitu doa Tifatul Sembiring dalam Sidang Paripurna hari ini 16 Agustus 2017.
Berbanding terbalik dengan doanya untuk Jokowi, Tifatul memuji-muji Jusuf Kalla dalam doanya, “Ya Allah, bimbinglah Wakil Presiden kami Bapak Jusuf Kalla. Meskipun usia beliau sudah tergolong tua, tapi semangat beliau masih membara”.
Sekedar melawan lupa..
Tepat setahun yang lalu, 16 Agustus 2016, doa nyinyir yang serupat tapi tak sama juga dipanjatkan oleh politikus Partai Gerindra M Syafii dalam momen yang sama, Sidang Paripurna.
“Jauhkan kami ya Allah dari pemimpin yang khianat, yang hanya memberikan janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, yang kekuasaannya bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, dan seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat”
“Dimana-mana rakyat digusur tanpa tahu kamana mereka harus pergi, dimana-mana rakyat kehilangan pekerjaan Allah. Di Negeri yang kaya ini, rakyat ini outsourching wahai Allah, tidak ada jaminan kehidupan mereka aparat seakan begitu antusias untuk menakuti rakyat”
Bagi saya Tifatul dan Syafii ini tidak lebih tidak kurang adalah reinkarnasi dari Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah pada zaman Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam dulu.
Dari doa kedua politisi dari partai oposisi pemerintah, PKS dan Gerindra itu, saya ingin bertanya, adakah diantara para Alim Ulama, Habib, Ustad, Khatib dan para pemimpin agama yang budiman yang bisa menjelaskan pantaskah berdoa demikian dalam momen sakral menghadap Allah Yang Maha Suci?
Tifatul dan Syafii ini berani mempermainkan Allah Yang Maha Suci dalam momen doa yang sakral demi hasrat politik mereka dengan menonjolkan kepentingan dan kenikmatan pribadi dan kepentingan partai mereka. Saya bukan manusia suci, tapi semua orang beragama juga tahu apa itu berdoa, tetapi kenyataannya tidak sedikit orang yang berdoa dengan semau-maunya seenak udel mereka, contohnya ya Tifatul Sembiring dan M. Syafii ini.
Sepantar pemahaman saya yang berlumpur dosa ini, doa bukanlah sarana untuk memaksakan kehendak dan ego Tifatul dan M. Syafii itu kepada Allah, akan tetapi doa adalah komunikasi dengan Allah pencipta sebagai otoritas yang suci soal ketulusan dan kesungguhan, bukan untuk menyinyiri orang lain maupun memuji manusia lain setinggi langit di dalam doa kepada Allah Yang Maha Suci.
Makna doa Tifatul Semniring ini tidak lebih tidak kurang sama persis dengan doa suami yang istrinya mukanya jelek dan gembrot lalu meminta Allah mencantikan wajah istrinya dan membuat body istrinya seksi dan mulus seperti Julia Roberts.
Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong (Mazmur 34:16). Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah.
Bersukacitalah senantiasa, mengucap syukur dalam segala hal, dan di atas itu semua, menempatkan kehendak Allah sebagai yang utama dan kemuliaan Allah sebagai tujuan yang terakhir.
Ciri-ciri doa orang munafik yaitu berdoa kepada Allah hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan mereka. Allah hanyalah sarana tunggangan bagi mereka untuk mendapat reputasi di hadapan manusia karena yang mereka cari adalah kredit dari manusia, bukan pertolongan Allah dalam makna yang sesungguhnya.
Sebagai seorang muslim yang taat, pak Tifatul haruanya tahu, doa orang munafik dengan ciri-ciri nifaq amali seperti bohong jika berbicara tidak akan didengar Allah karena “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 145)
“Wahai Allah bersihkanlah hatiku dari nifaq, (bersihkanlah) amalku dari riya, (bersihkanlah) lisanku dari dusta, (bersihkanlah) mataku dari pengkhianatan. Sesungguhnya Engkau mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan didalam dada.” (HR. Hakim (2/227), al Khotib (5/267), ad Dailamiy (1/478 No. 1953).
Lain kali doa penutup dalam momen sidang tahunan MPR dibacakan oleh Menteri Agama atau dari pihak Kementerian Agama saja agar tidak dipolitisir karena Allah bukan politisi
Sumber
Tidak ada komentar:
Write komentar