Berita Dunia Jitu - Waduh, Cak… ternyata ada juga ya, yang merasa terganggu dengan banyaknya patung di Purwakarta. Supaya tidak tanggung, patung pun dijadikan isu politik untuk menggoyang Pilkada Jabar.
Sasaran sudah ditemukan dalam sosok Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta. Dinilai, kebijakan Dedi di Purwakarta menggeser predikat kota Purwakarta. Dari kota tasbeh menjadi kota patung.
Kota Tasbeh
Jangan dibayangkan Purwakarta sebagai kota tasbeh berarti warga Purwakarta setiap pergi ke kota harus bawa tasbeh di tangan atau dipakai dileher. Tasbeh adalah singkatan: Tertib, Aman, Sehat, Bersih, Elok, Hidup.
Memang ketika disingkat jadi ‘tasbeh’ terkesan sangat Islami. Mungkin ini yang bikin KH Syirodjudin merasa bangga. Dakwahmedia.web.id memberitakan kegeraman KH Syirod ini demikian: “Purwakarta yang dulunya terkenal dengan Kota Tasbeh, semenjak dipimpin Dedi Mulyadi berubah menjadi Kota Patung.”
Nampak sekali betapa bangganya KH Syirod dengan julukan kota tasbeh untuk Purwakarta. Serta merta, ia pun mengkritisi keberadaan patung-patung.
”Meski patung ini hanya sebuah simbol, tapi ini bertentangan dengan umat Islam yang ada di Purwakarta. Nabi Ibrahim saja dulu menghancurkan patung, ini malah membangun patung,” katanya.
Sebenarnya, bagaimana kondisi Purwakarta sebagai kota tasbeh? Benarkah lebih berakhlak islami?
Pengamatan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menarik untuk disimak. Menurutnya, sebagaimana diberitakan TribunJabar.co.id, banyak hal negatif terjadi di Purwakarta saat dikenal sebagai kota Tasbeh.
“Tapi saat jadi kota Tasbeh itu, banyak kemaksiatan di Purwakarta. Situ Buleud jadi tempat transaksi prostitusi kelas bawah, tidak beradab, itu makanya saya pagari Situ Buleud. Lalu kawasan Gedung Kembar jadi tempat mangkal waria, tempat mabuk, tempat judi,” ujar Dedi dalam acara peringatan Maulid Nabi di Pendopo Pemkab Purwakarta, Senin (14/12/2015).
Selain itu, kota Tasbeh dulu juga dikenal kawasan Cilodong yang juga tempat transaksi prostitusi.
“Tak ada bupati yang berani membersihkan Cilodong dari tempat transaksi prostitusi, termasuk juga Situ Buleud. RSUD Bayu Asih jadi tempat yang paling buruk pelayanan kesehatan warganya,” ujar Dedi lagi.
Masih ada satu lagi keburukan yang terjadi di zaman Purwakarta sebagai kota Tasbeh. “Di zaman kota Tasbeh, itu diplesetkan jadi ‘Masuk Tas Kabeh’, yang artinya tiap bupati selesai periode jabatannya, maka bupati itu sibuk menjarah uang masuk tas,” kata Dedi juga.
Tidak heran bila Kang Dedi menyayangkan jika ada sekelompok masyarakat yang menginginkan Purwakarta kembali jadi kota Tasbeh.
“Purwakarta sebagai kota Tasbeh itu penuh dengan keburukan, ketidak beradaban, pelayanan publik oleh pemerintah carut marut, apa mau kita kembali ke zaman itu,” ujar Kang Dedi berapi-api.
Hmmm, apakah ketika Purwakarta sebagai kota Tasbeh, kelihatan akhlak Islaminya? Sehingga seorang KH Syirodjudin dan KH Syahid Joban -pimpinan lembaga dakwah Manhajus Solihin- ingin sekali Purwakarta kembali ber-tasbeh?
Kota Patung
Sekarang, apa alasan Kang Dedi membangun banyak patung di Purwakarta?
Dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Problematika Seni Budaya di Ruang Publik’, Dedi Mulyadi menjelaskan alasan pembangunan karya seni di ruang publik. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Dewan Kebudayaan Jeprut Jawa Barat (DKJJB), bertempat di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jalan Naripan, Kota Bandung Jawa Barat, Sabtu 22 Juli 2017 sebagaimana diberitakan merdeka.com.
Alasan Dedi lebih jauh lagi, sebuah karya seni memiliki energi inspiratif sehingga jika tidak diberikan ruang, maka secara otomatis akan mempersempit ruang inspirasi bagi sebuah komunitas masyarakat.
“Jika ruang seni dipersempit maka energi inspiratif tidak akan ter-transendensi kepada kita. Akhirnya, manusia tidak lagi imajinatif. Kalau sudah begini, tidak ada ide, maka biasanya impor imajinasi dari luar,” jelas Kang Dedi.
Imajinasi yang dimaksud oleh Dedi, menurutnya harus berdasarkan karakter wilayah. Di Purwakarta misalnya dia membangun karya seni berbentuk tokoh pewayangan yang memang mengilhami penyebaran Agama Islam di Tanah Sunda dan Nusantara pada umumnya. Cara ini dia lakukan agar masyarakatnya tidak berkiblat pada super hero hasil imajinasi impor.
“Saya membangun itu agar tokoh-tokoh pewayangan di kita itu sejajar dengan Batman, sejajar dengan Superman. Masa super hero luar negeri lebih disukai sementara super hero bangsa sendiri dilupakan,” katanya menambahkan.
Bila dinalar dengan sumbu panjang, jelas ada tujuan jangka panjang yang dituju pria yang juga menjabat sebagai Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama Purwakarta itu. Tegasnya, ruang publik yang memiliki nilai seni dan tertata dengan rapi dapat menjadi salah satu andalan destinasi wisata bagi daerah, sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisata dan menggenjot pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah.
***
Sampai-sampai terkait dengan wacana Dedi Mulyadi untuk Jabar 1 digoyang oleh ormas Gerakan ulama (Gema) Jabar. Isu yang digoreng selalu saja isu agama. Dituduhkanlah bahwa selama ini Dedi Mulyadi yang menjabat sebagai Bupati Purwakarta dianggap tidak pernah mendengar aspirasi umat Islam di Purwakarta. Sebagai penyedap rasa diangkatlah isu patung-patung di Purwakarta bikin gaduh umat Islam di sana.
Masak iya, patung-patung bikin gaduh? Bukankah patung itu tidak bisa take a beer, tidak bisa juga jalan-jalan sambil bawa fentung? Nah, siapakah yang sebenarnya suka bikin gaduh? Waduh Cak… tepuk jidat aja dah.
Sumber
Tidak ada komentar:
Write komentar