Jumat, 18 Agustus 2017

Dibalik Kisah Ahok, Dipenjara dan Keteguhan Iman

Dibalik Kisah Ahok, Dipenjara dan Keteguhan Iman

Berita Dunia Jitu - Lelaki setengah baya itu lahir dari keturunan China, beragama Kristen. Dimana pun ia berada, dengan teguh dan tak pernah malu ia memproklamirkan tentang keadaan dirinya itu, dilahirkan sebagai keturunan orang China dan menganut agama Kristen.

Sesuatu yang dia sendiri nggak akan pernah bisa tolak apalagi sangkal, memilih untuk terlahir dari ras atau suku apa. Pilihan itu tidak ada. Dia tidak bisa milih. Sedangkan soal agamanya, itu adalah pilihan jalan kehidupan yang telah dia ambil. The way of life.

Di usianya yang masih tergolong muda, ia berkiprah sangat fantastis dalam dunia politik, hingga akhirnya menjadi wakil gubernur dan kemudian gubernur di ibukota negara. Dari sanalah kisah perjuangan dan pengorbanan tanpa batasnya dimulai.

Dengan sungguh-sungguh orang ini punya keinginan sangat kuat mengubah tata kelola dan cara birokrasi melayani warga di ibukota yang ia pimpin. Tidak boleh ada sepeser pun pungli atas nama kenyamanan pelayanan. Jargon kalau masih bisa dipersulit untuk apa dipermudah dibabat habis lalu diganti, dan dicanangkanlah semboyan birokrasi yang melayani. Pejabat adalah pelayan masyarakat. Warga itu adalah ibarat konsumen. Mereka adalah raja, bukan sebaliknya.

Ia bekerja sangat keras untuk mengubah mentalitas aparatur Pemprov DKI yang sebelumnya meminta untuk selalu dilayani berbalik menjadi birokrat birokrat yang sigap melayani. Bekerja sebagai ‘pelayan’ yang sesungguh-sungguhnya. Saya buktikan itu. Banyak perubahan sangat kontras saya rasakan dalam hal pelayanan di salah satu kantor lurah di Jakarta Timur ketika harus mengurusi KTP saya.

Sosok ini juga telah berusaha sangat maksimal memberantas prilaku koruptif di lingkungan birokrasi Pemprov DKI Jakarta yang sudah membudaya dan berurat akar sangat lama. Apa-apa baru akan beres bila ada uang pelicin. Tanpa itu, urusan tak pernah licin, pasti tersendat dan sengaja dihambat.

Ia dengan tegas mengharuskan secepatnya diterapkan program Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) seiring sejalan dengan komitmen dan keinginan Presiden Jokowi dalam skala nasional.

Ia bahkan telah juga memulai pembenahan besar-besaran dalam sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi dan transparansi. Tidak boleh ada permaianan uang dalam mengatur promosi jabatan. Bermain mata pat gulipat dalam mendapatkan jabatan amat diharamkan. Apalagi oleh karena kolusi dan nepotisme berbasis kekerabatan. Jangan coba-coba.

Banyak yang telah ia lakukan. Setelah merekrut belasan ribu pasukan oranye dengan gaji hingga 3 juta per bulan plus Asuransi kesehatan dan asuransi tenaga kerja, ia juga merekrut pasukan warna warni lainnya untuk menangani berbagai masalah di Jakarta yang sangat kompleks ini.

Salah satu upaya besar lainnya yang sangat diakui, bahkan ada studi banding dari luar negeri  mengenai hal itu adalah kegigihannya melakukan proyek besar merevitalisasi dan membersihkan sungai-sungai yang kotor dan bau di Jakarta. Hal itu menyebabkan Jakarta sudah menjelma menjadi lebih indah dan sedap dipandang mata. Ia memang sosok fenomenal, ide dan jalan pikirannya cemerlang betul.

Tak sampai di situ saja. Cerita demi cerita masih terus berlanjut. Ia berhasil menurunkan lokasi titik banjir di Jakarta dari semula sekitar 2.200 titik banjir berhasi diturunkan menjadi 80 titik banjir saja, dan terus menurun setiap saat.

Sebagian orang yang kemungkinan lahir atau ‘diproduksi’ dari pabrik beroutput kebencian ternyata tidak pernah puas dan malah menghina serta membenci semua keberhasilan sang gubernur. Ia dicerca. Ia dimaki. Ia dihujat. Ia diolok-olok, dihina, dilecehkan, bahkan hendak dihabisi. Inilah mengapa Jakarta mendapat sorotan banyak pihak. Jakarta harus bersyukur punya gubernur seperti orang ini.

Fakta dengan terang benderang memberikan gambaran utuh kepada kita semua yang masih punya hati, bahwa orang ini telah berbuat banyak untuk Jakarta kita ini. Tidak boleh kita menisbikan kenyataan dan fakta-fakta ini.

Ia berhasil meningkatkan Indeks kebahagiaan di kota seribu satu persoalan ini menjadi 78,9. Ini adalah yang paling tinggi di Indonesia lho. Lalu ia pun berhasil meningkatkan pendidikan di Jakarta berbarengan dengan peningkatan kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Lebih jauh lagi, dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan warga Jakarta yang masih terpinggirkan dan terisoler, maka dibangunlah ribuan unit rusunawa.  Mereka yang tinggal di bantaran sungai direlokasi. Ia juga berhasil menurunkan tingkat pengangguran dari 8,4 persen menjadi 5,7 persen.

Ada begitu banyak keberhasilan dan pencapaian gubernur fenomenal  satu ini. Lembaran tulisan ini tak bakalan cukup memberitakan semua yang telah dilakukan oleh salah satu putra bangsa terbaik ini. Begitu banyak yang sudah ia lakukan.

Tak dipungkiri orang ini bekerja dengan amat tulus. Cita-cita paling mulia yang selalu terbesit dalam benaknya yaitu tentang hal mendesak untuk segera diwujudkan yakni: Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jakarta.

Sebab, keadilan adalah momok menakutkan bagi para penjahat, begundal, perampok, pendusta, pejabat-pejabat rakus dan munafik. Namun sebaliknya, hal itu adalah sesuatu yang amat didambakan oleh begitu banyak warga biasa. Orang-orang yang sudah terlalu sering haknya dirampas. Kepentingannya dicaplok. Keberadaannya disingkirkan. Penghasilannya distop sepihak.

Kepada orang-orang seperti inilah kegigihan pekerjaan dan perjuangan berat sang gubernur ditujukan. Ia melayani mereka dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa dan raga. Karena itu jugalah, ia sanggup dengan tegar dan pantang menyerah berkata, “sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, kamu tidak bisa nilai orang lain itu baik atau buruk. Nanti kamu baru tahu apa yang saya kerjakan.”

Menista Agama?

Semua progres perjalanan kebaikan dan keberhasilan sang gubernur ternyata harus pupus di tengah jalan. Ia “dipaksa” masuk jeruji besi untuk sesuatu yang sangat politis, sesuatu yang kalau kita masih punya pikiran waras adalah tidak mungkin ia lakukan: Menista agama.

Bagaimana mungkin ia menista agama dengan sepotong pernyataan perumpamaan yang ia sampaikan? Sesuatu yang sebetulnya adalah fakta kebenaran yaitu bahwa betapa banyaknya orang-orang tertentu yang membodoh-bodohi orang lain dengan memakai atau memperalat ayat-ayat kitab suci, bahkan nama Tuhan. Ini FAKTA, bukan imajinasi.

Kita tak perju jadi munafik menolak kenyataan itu. Ini sudah terjadi dimana-mana sampai hari ini. Bukan hanya oleh satu agama saja. Anda cukup buka telinga dan hati, lalu dengarkan suara Tuhan kemudian cocokkan dengan apa yang Anda dengar di mimbar-mimbar! Apakah sudah sesuai atau tidak. Kebenaran itu milik Tuhan. Hanya itulah kebenaran yang absolut. Jangan pernah kita berusaha menisbikan yang mutlak lalu memutlakkan yang nisbi. Selidikilah hatiku, kata sebuah syair lagu.

Sang gubernur sudah membangun Masjid di Balai Kota, yaitu Masjid Fatahillah. Ia juga membangun Masjid Raya Jakarta di Daan Mogot, Jakarta Barat. Lalu, ia juga membangun masjid di setiap rusun yang dibangun, misalnya Masjid al-Hijrah di Rusun Marunda Jakarta Utara, dan Masjid Al-Muhajirin di Rusun Pesakih Jakarta Barat.

Bukan hanya itu. Orang ini bahkan juga membangun Pondok Pesantren dan Asrama di Yayasan Pondok Karya Pembangunan (PKP) Jakarta Timur. Ia telah membangun belasan musholla untuk setiap RPTRA (Ruang Publik Terbuka Ramah Anak). Memberikan bantuan ke ratusan musholla, mesjid dan majelis taklim, dengan bantuan sebesar 15 juta sampai 100 juta rupiah.

Ia bertekad dan mewujudkan tekadnya dalam memajukan Masjid Jakarta Islamic Center (JIC) di Jakarta Utara sebagai Etalase Keilmuan keislaman dan Wisata Religi. Di samping itu, ia rela menyisihkan 2,5 persen penghasilannya untuk sedekah, meskipun sebetulnya tak ada kewajiban untuk itu.

Memberikan KJP (Kartu Jakarta Pintar) kepada pelajar di sekolah Islam (Madrasah), dengan total budget KJP 2016: Rp2.5 Triliun.

Sudah mengumrohkan Penjaga Masjid/Musola (Marbot) ratusan orang, selain itu ia juga mengumrohkan para penjaga Makam (Kuncen). Memberikan gaji untuk guru ngaji di masjid dengan UMR DKI yakni Rp. 3.1 juta. Apakah gubernur-gubernur sebelumnya yang notabene muslim pernah melakukan hal yang sama? Think!


Mempersiapkan beasiswa untuk ribuan santri asal DKI Jakarta yang menuntut ilmu di berbagai Pesantren di luar Jakarta. Memberi sedekah sebesar Rp 55 juta melalui Badan Amil Zakat Infaq Shadaqah (BAZIS) DKI Jakarta. Berqurban setiap tahun dari dana pribadi, seperti memotong 55 ekor sapi untuk warga rusun dan dikirimkan ke masjid, mushola dan majelis taklim. Serta masih banyak hal lainnya yang bisa jadi tak pernah dipublikasikan secara luas.

Lalu pertanyaan sederhananya adalah ini. Apakah orang seperti ini layak dinyatakan sebagai penista agama, hanya karena sepotong kalimat pendek yang sudah diedit dengan menghilangkan satu kata oleh seseorang yang barangkali kurang kerjaan (kini sementara disidang ) itu? Kalau jawaban Anda iya, maka maaf, ijinkanlah saya minta tolong Anda periksa kejiwaan Anda ke dokter jiwa, jangan-jangan ada gangguan di sana. Please do not keep your stupidity!

Karya dan Nama yang Dikenang

Sebagai orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, sosok ini tak melawan sedikitpun ketika ruang sidang memutuskan ia harus dipenjara. Dirinya bahkan harus hari itu juga terpisah dengan istri yang amat ia cintai, dan anak-anak yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. Tidak ada ia memaksakan diri dan menggunakan kekuasaan yang ia masih punya, apalagi sampai harus lari ke luar negeri bak pengecut seperti seorang pemimpin demo yang memimpin demo menuntut supaya dirinya dipenjara yang kini tak tau di mana rimbanya.

Tanpa bertele-tele, detik itu juga ia dikirim langsung ke balik jeruji besi. Para pembencinya bersorak-sorai. Mereka menari-nari kegirangan, mencapai klimaksnya. Demo berbuah manis bagi mereka. Sang pendobrak kemapanan telah dipenjara. Alhamdulillah kata mereka.

Bukan hanya pendemo yang happy. Semua yang bermain di balik layar ikut gembira. Kegembiraan itu bagaikan ubi jalar. Menjalar ke para koruptor, birokrat malas, pejabat DKI tak tau diuntung, dan semua musuh-musuh politik sang gubernur. Mereka bersekutu dalam ‘keindahan’ momentum terpenjaranya sang ‘lawan berat’. Di sisi lain, kesedihan dan tangisan hadir meliputi para pendukung dan pencinta sosok ini.

Kawan saya, seorang  guru wanita tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis keras, saat keputusan dibacakan dan orang yang ia kagumi digiring ke penjara. Ini menandakan betapa kehilangannya ia akan sosok yang selama ini menjadi panutannya.

Untung saya masih lebih tegar. Meski jujur saya akui, dua malam setelah ia dipenjara saya tak bisa tidur. Sakit dan kepedihan menjalar dalam seleluruhan raga ini. Makan tak enak tidurpun tak nyenyak.

Hari ini kita melihat keadan yang berbalik. Apakah sosok di balik jeruji besi ini sudah tamat? Ternyata tidak. Ia semakin dibentuk dan dimurnikan. Namanya semakin dipuji dan terus diagungkan dimana-mana. Ia merendahkan diri begitu rupa, namun aliran kemuliaan tertuju pada dirinya mengalir begitu deras, sehingga pancaran terangnya menembus jeruji besi menjadi kesaksian bagi banyak orang.

Ketika air mancur di Monas diresmikan, ia seakan hadir di situ. Dipuji dan diagungkan orang banyak. Ketika simpang Semanggi diresmikan, ia pun seakan ikut hadir di sana. Namanya berkumandang lalu orang-orang berbondong-bondong mengelu-elukan dia. Ketika Pak Djarot meresmikan salah satu koridor Transjakarta, ia pun seperti ikut hadir dalam semarak itu, dan disebut-sebut namanya pula.

Media sosial ikutan ramai menyebut-nyebut namanya untuk banyak hal. Ia tidak kemana-mana namun ia ada dimana-mana. Ia hadir dimana saja hasil karyanya ada. Sudah begitu banyak hasil karya yang ia torehkan dengan ketulusan dan kecintaannya pada warga DKI.

Keteguhan Iman

Meskipun nampaknya Jakarta belum sanggup dan belum terbiasa menerima pemimpin yang jujur, tegas, dan pemberani. Belum juga terbiasa dipimpin pemimpin yang tidak seagama. Tetapi saya percaya hati orang ini masih akan tetap dan terus memancarkan kepedulian pada semua orang tanpa pernah memandang latar belakang suku dan agama.

Suara kebenaran itu akan tetap memancar dari balik jeruji besi, perlahan namun pasti menerobos ruang dann waktu untuk menyadarkan mereka yang buta mata hatinya. Lambat laun mereka akan benar-benar merasakan kehilangan. Sebuah kehilangan yang menyakitkan dan amat disesali.

Saya percaya ia tidak menaruh dendam pada siapapun yang telah berkontribusi menyebabkan ia harus dipenjara. Kesaksian orang-orang yang sudah bertemu dirinya dipenjara semakin menguatkan keyakinan saya.

Karena keteguhan imannya, maka dia tahu betul betapa berharganya pengampunan yang diberikan pada orang yang bersalah pada dirinya. Bahwa mengampuni itu adalah berarti tidak mengingat-ingat lagi. Memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Bagi saya, itulah juga salah satu alasan kenapa ia tidak bersedia hadir sebagai saksi yang memberatkan di persidangan orang yang sudah menyebabkan ia masuk penjara. Ia telah lama mengampuni mereka. Tak heran terlontar kalimat ini, “….Saya sudah belajar mengampuni…”

Mengampuni orang yang bersalah pada kita itu rasanya berat dan menyakitkan. Biasanya dendam yang menguasai manusia, dan balas dendam adalah jalan menuju kepuasan batin. Tetapi sama seperti kepercayaan saya, ia juga tentu percaya bahwa Tuhan akan memberikan kemuliaan bagi setiap mereka yang mampu mengampuni orang lain. Ada sebuah bagian doa yang berkata, “…..Ampunilah kami seperti kami sudah mengampuni orang yang bersalah kepada kami….”

Dengan imannya yang kuat, orang ini sudah mengajarkan kita banyak hal.

Nama orang itu kita semua sudah tahu: AHOK. Nama ini akan tetap ada di dalam hati, menunggu ia bebas. Menunggu celotehan-celotehan penuh ketegasan yang dibungkus kejenakaan. Meskipun nenek saya sudah nggak ada, namun begitu rindu saya pada ungkapan “Pemahaman nenek lu!”

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar