Rabu, 08 November 2017

Benarkah Anies Sandi Tak Mungkin Menang Tanpa Alumni 212???

Benarkah Anies Sandi Tak Mungkin Menang Tanpa Alumni 212???

Berita Dunia Jitu - Judul dalam tulisan ini dibuat dalam kalimat tanya, benarkah faktanya demikian ? Eggi Sudjana meyakininya seperti itu. Anies Sandi tidak akan mungkin menang apabila tidak ada peran dari alumni 212.

Pernyataan Eggi ini dikeluarkannya karena kecewa kepada Anies yang tidak menghadiri acara yang digelar beberapa waktu lalu. Seperti dilansir detik.com, Alumni 212 menggelar peringatan aksi 411 di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang diundang, tidak hadir.

Pengacara yang juga penasihat Presidium Alumni 212, Eggi Sudjana, pun menyinggung ketidakhadiran Anies ini. Dia menyesalkan sikap Anies yang tidak memenuhi undangan. "Kalau bicara kecewa, pasti. Kecewanya adalah, kenapa dia (Anies, red) nggak prioritaskan. Kan subuh-subuh dia nggak ada kegiatan. Mana ada kegiatan kantoran dalam konteks kerja DKI," ujar Eggi kepada wartawan di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan, Sabtu (4/11/2017).

"Apa alasannya tidak datang, tidak kasih kabar lagi," sambungnya.

Eggi lantas menyindir Anies lewat sebuah pribahasa 'seperti kacang lupa pada kulitnya'. Menurut dia, jangan sampai alumni Aksi 212 menilai Anies cuma memanfaatkan mereka saat masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Nah, sekarang analisisnya ? Apakah memang benar tanpa bantuan alumni 212, Anies Sandi tidak bakalan menempati kursi Gubernur dan Wakil Gubernur seperti sekarang ini.

Menurut hemat penulis, paling tidak pasangan Anies Sandi telah diuntungkan dengan adanya demo berjilid-jilid yang tujuan utamanya adalah menjungkalkan Ahok.

Dalam setiap survei sebelum Pilkada, nama Ahok berkibar di urutan teratas calon gubernur pilihan warga DKI. Namun, semenjak Ahok naik ke kursi Gubernur beberapa ormas Islam sudah menolaknya terkait keyakinan atau agama yang dianutnya.

Mereka, yakni ormas-ormas Islam tersebut tidak pernah melihat pencapaian Ahok. Upaya Ahok memberantas premanisme, merombak jajaran PNS bermasalah, merombak birokrasi yang berbelit dan memercantik wajah Jakarta seolah-olah tidak ada apa-apanya.

Mereka menunggu momentum yang tepat sebagai “trigger” untuk menjatuhkan Ahok. Dan momentum tersebut datang juga, ketika Ahok dianggap menistakan agama Islam dengan ucapannya di Kepulauan Seribu. Maka datanglah demo berjilid-jilid yang menuntut Ahok dipenjarakan dan turun dari kursi Gubernur.


Lalu kemudian muncul pasangan Anies Sandi. Alumni 212 yang menurut klaim mereka mencapai 7 juta orang dan ormas-ormas Islam yang semenjak awal menolak Ahok mendukung pasangan ini. Pilkada DKI kemudian menjelma menjadi Pilkada yang penuh dengan muatan SARA alih-alih jualan program.

Ikatan primordialisme, sektarianisme disuburkan sedemikian rupa sehingga masyarakat kemudian dikotak-kotakkan antara pendukung Ahok yang dicitrakan sebagai pendukung penista agama dengan kelompok anti Ahok yang sedang membela agama. Pilkada yang semestinya menjadi ajang pesta demokrasi kemudian berubah menjadi proyekan kampanye hitam dan menjelekkan satu sama lain.

Jadi, pernyataan dari Eggi Sudjana agar Anies Sandi tidak seperti peribahasa “kacang lupa akan kulitnya” bisa jadi benar. Seperti ditulis dalam artikel yang dimuat tirto.id :

“Kemenangan Anies-Sandi tak bisa dilepaskan begitu saja dari sejumlah manuver kelompok ini. Misalnya ketika mereka menggelar "Tamasya Al-Maidah" -- mendatangi TPS pada hari pencoblosan dalam rangka "pengamanan" suara dan langkah taktis lain seperti turut serta dalam proses kampanye serta demonstrasi. Sementara mesin partai yang mengusung Anies-Sandi ketika itu, PKS dan Gerindra, menurut Eggi tidak membantu banyak.”

Pola-pola yang terjadi di Pilkada DKI bukan tak mungkin diulang di berbagai tempat di tanah air. Pilkada DKI menjadi semacam “blue print” bagaimana memenangkan kontestasi atau pertarungan perebutan kursi kekuasaan melalui cara-cara yang sudah dilakukan di Jakarta.

Tahun depan, 2018 akan kita lihat berulangnya cara-cara seperti ini. Dan bukan tak mungkin puncaknya atau target sesungguhnya adalah pada 2019 nanti. Di tahun ini, yang sering disebut juga sebagai tahun politik perebutan kursi Presiden akan berlangsung sangat sengit. Sayangnya, sudah bisa diprediksi, kampanye hitam SARA masih akan menggelayuti demokrasi di tanah air.

Dus, inilah sesungguhnya paradox dari demokrasi. Membiarkan anasir-anasir yang justru bisa mencederai dan menghancurkan demokrasi atas nama kebebasan berpendapat.

Dan bagi Anies-Sandi sendiri harus bisa membuktikan bahwa kemenangan mereka adalah kemenangan program yang mereka tawarkan alih-alih dukungan dari kelompok alumni 212. Lima tahun ke depan adalah pembuktian mereka.

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar