Minggu, 20 Agustus 2017

Survei BPS Penduduk NTT Kurang Bahagia

Survei BPS Penduduk NTT Kurang Bahagia

Berita Dunia Jitu - Pada tanggal 15 Agustus 2017 kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) RI merilis Indeks Kebahagiaan penduduk Indonesia untuk tahun 2017. Rilis BPS yang diperoleh berdasarkan survei tersebut menunjukkan bahwa indeks kebahagiaan penduduk Indonesia mencapai 70,69 (dari angka 100).

Angka ini meningkat dibanding tahun 2014 yakni 68,28. Indeks kebahagiaan ini diperoleh dari akumulasi 3 dimensi penilaian yakni dimensi kepuasan hidup 71,07, dimensi perasaan 68,59 dan dimensi makna hidup 72,23.

Dari rilis tersebut disebutkan bahwa ada 3 propinsi yang menjadi juru kunci atau 3 besar (dari posisi terakhir) dari 34 propinsi yang disurvei. Ketiganya adalah Propinsi Sumatera Utara (68,41), Papua (67,52) dan Nusa Tenggara Timur (68,98). Sedangkan 3 Propinsi yang menempati posisi teratas antara lain Propinsi Maluku Utara (75,68), Maluku (73,77), dan Sulawesi Utara (73,69).

Indeks kebahagiaan diukur berdasarkan data hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang dilaksanakan serentak di 487 kabupaten/kota terpilih yang dijadikan lokasi sampel. Kabupaten/kota tersebut tersebar di 34 propinsi dengan total sampel untuk rumah tangga mencapai 72.317 rumah tangga. Setiap rumah tangga dipilih kepala rumah tangga (suami) atau pasangan kepala rumah tangga (istri) sebagai responden untuk mewakili rumah tangga tersebut.

Dimensi Kebahagiaan

Indeks kebahagiaan tahun 2017 merupakan indeks komposit yang disusun oleh 3 dimensi yakni; kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect) dan makna hidup (eudaimonia). Ini berbeda dengan dimensi penilaian yang digunakan pada 2014 silam, yang mana hanya satu dimensi saja yang digunakan yakni kepuasan hidup. Oke, mari kita cermati lebih dalam mengenai tiga dimensi penilaian tersebut.

Survei BPS Penduduk NTT Kurang Bahagia

Pertama; Dimensi Kepuasan Hidup. Dimensi kepuasan hidup dibagi menjadi 2 subdimensi yakni; subdimensi ‘kepuasan hidup personal’ dan subdimensi ‘kepuasan hidup sosial’. Subdimensi kepuasan hidup personal meliputi; pendidikan dan keterampilan, pekerjaan/usaha/kegiatan utama, pendapatan rumah tangga, kesehatan, kondisi rumah dan fasilitas rumah. Sedangkan subdimensi kepuasan hidup sosial meliputi; keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, kondisi keamanan.

Kedua; Dimensi Perasaan. Dimensi perasaan meliputi; perasaan senang/riang/gembira, perasaan tidak khawatir/cemas, dan perasaan tidak tertekan.

Ketiga; Dimensi Makna Hidup. Dimensi ini meliputi; kemandirian, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri.

Indeks Kebahagiaan Penduduk NTT

Sebagaimana sudah disinggung di atas, indeks kebahagiaan penduduk NTT adalah 68,98. Angka ini menempatkan NTT berada pada urutan 3 (dari posisi terbawah) dari 34 propinsi yang disurvei. Ini semakin menegaskan kondisi penduduk NTT yang belum sepenuhnya terbebas dari kemiskinan.

Survei BPS Penduduk NTT Kurang Bahagia

Indeks kebahagiaan merupakan gambaran nyata dari ketertinggalam penduduk di suatu daerah. Hal ini karena dimensi-dimensi penilaian yang digunakan berkaitan erat dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan masyarakat di suatu daerah.

Bagaimana dengan kondisi di NTT? Mari kita lihat. Propinsi NTT dengan ibukota Kupang terdiri dari 21 kabupaten/1 kotamadya. Ada 306 kecamatan dan 2.954 desa serta 316 kelurahan. Jumlah orang miskin di NTT mencapai 1.150.080 jiwa atau setara 22,01% dari total penduduk di NTT yang berjumlah 5.036.687 jiwa (BPS NTT). Ini berarti ada 1 orang miskin dari 5 orang NTT (1 : 5). Atas pencapaian ini, pada 2015 dan 2016, NTT dinobatkan sebagai propinsi termiskin ketiga di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Mengenaskan bukan?!

Kendati kemiskinan bukan variabel tunggal yang mempengaruhi indeks kebahagiaan, tetapi ada kausalitas yang kompleks dan erat antara kemiskinan dengan dimensi kebahagiaan. Kemiskinan bisa berakibat pada penurunan akses pendidikan dan keterampilan, akses terhadap pekerjaan yang layak, menurunkan pendapatan, gizi buruk meningkat, akses perumahan yang terbatas.

Sebaliknya tingkat pendidikan yang rendah bisa berakibat pada penurunan income rumah tangga, akses kesehatan, yang pada akhirnya kembali terjerumus dalam lingkaran setan kemiskinan. Kondisi demikian bisa memicu perselisihan dalam rumah tangga yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus kriminal, perusakan lingkungan dan lainnya.

Kondisi miskin jelas tidak menyenangkan. Bagaimana bisa seorang anak berani bermimpi bisa bersekolah tinggi di sekolah terbaik dan beroleh sukses jika untuk makan sehari saja begitu sulit? Jelas kondisi seperti ini menimbulkan kecemasan akan masa depan anak oleh orang tua.

Selain jumlah penduduk miskin, tingkat pendidikan penduduk NTT pun tercatat masih cukup memprihatinkan untuk tidak dikatakan ‘mengenaskan’ (lagi!). Sebanyak 67% lebih penduduk NTT berpendidikan SD ke bawah dengan penduduk yang berpendidikan Perguruan Tinggi tidak mencapai 5%.

Sementara di sisi lain, ICW menempatkan NTT sebagai salah satu propinsi terkorup tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak bahagianya penduduk NTT akibat dari kemiskinan struktural/sistemik. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa penduduk NTT tidak bahagia akibat ‘dimiskinkan’ oleh elite politik lokal.

Hal ini tidak serta-merta menafikan faktor determinan seperti; ketimpangan kepemilikan lahan yang masih didominasi oleh kaum feudal. Masih mekarnya feodalisme di NTT berakibat pada pemisahan (alienasi) petani dari lahan pertanian. Apalagi mayoritas penduduk NTT berprofesi sebagai petani. Kondisi ini turut memperburuk kondisi ekonomi politik penduduk NTT.

Kendati demikian, fenomena kebudayaan kemiskinan bukan menjadi tren di NTT. Kebudayaan kemiskinan adalah menjadikan kegiatan seperti mengemis sebagai pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan atau diri sendiri. Meskipun termasuk propinsi termiskin, di NTT tidak ditemukan pengemis di pinggir jalan. Hal ini tentu saja bukan pembelaan semata dan sama sekali tidak menghilangkan aib kemiskinan yang sudah kronis di NTT.

Indonesia sudah merdeka 72 tahun tetapi penduduk NTT belum merdeka dari kemiskinan dan buta huruf. Perlu distribusi lahan kepada para petani yang merupakan profesi mayoritas penduduk NTT. Di samping itu, elite politik lokal perlu pula berbenah untuk menyelesaikan aib ini.
Semoga!!

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar