Senin, 28 Agustus 2017

Saat Ini Partai dan Ormas “Keagamaan”, Doyan “Oplosan” dan “Pelacuran”

Saat Ini Partai dan Ormas “Keagamaan”, Doyan “Oplosan” dan “Pelacuran”

Berita Dunia Jitu  -Sayajadi ingat sejarah “Sarekat Islam” yang diasuh oleh Tjokroaminoto, yang kemudian terpecah menjadi dua (merah dan putih). Dinamika politik identitas telah menjelaskan bagaimana kita memahami Indonesia yang sudah sejak dulu tidak lepas dari isu-isu seperti saat ini yang berkaitan dengan sentimen agama. Dalam konteks Islam di Nusantara, saya belum melihat sampai saat ini, organisasi ataupun partai yang identik dengan “keagamaan” seperti Sarekat Islam yang berjuang dalam “struggle class” (perjuangan kelas) melawan penjajah dasn melawan kelas penindas. Tidak mendiskreditkan keyakinan golongan lain. Serta juga menyepakati Pancasila sebagai ideologi negara. Tjokroaminoto telah melahirkan pejuang-pejuang bangsa yang “hebat”, termasuk Soekarno dan Datuk Ibrahim Tan Malaka, serta tokoh-tokoh lainnya, bahkan Semaoen.

Dalam komintern di Soviet, di depan Lenin, Tan Malaka yang juga murid Trokroaminoto yang berpandangan sosialis menyatakan perlunya bergabung dengan SI, yang kala itu lebih dikenal dengan Pan-Islamisme. Untuk melawan penjajah kolonial sekaligus imperialis, hal ini mematahkan tesis lenin yang memegang teguh “materialsme dialektika histori”. Dan untuk diketahui bahwa Sarekat Islam yang diasuh sekaligus dipimpin oleh Tjoroaminoto adalah yang pertama menggagas nasionalisme di bumi pertiwi dan organisasi politik terbesar kala itu. Setelah di era Orba, dengan adanya konflik para elite, SI yang kemudian melahirkan Partai Sarekat Islam Indonesia, dijinakkan atau dilumpuhkan oleh ditaktor terkorup Soeharto.

Isu-isu sentimen agama Indonesia cukup berdinamika dan hal ini juga tidak boleh dilepaskan dalam memahami perjalanan lahirnya bangsa Indonesia. Dimana semua ini bukan saja mewarnai sejarah politik Indonesia, melainkan juga terjadi di negara-negara dunia lainnya. Seperti Arab Vs Iran yang sudah menjadi isu global sejak penghujung perang dingin.
Saya menyapakati apa yang diungkapkan oleh Syarkun, bahwa dengan tauhid, islam menghargai perbedaan dan keragaman keyakinan. Jika dalam hal keimanan saja setiap pandangan dapat ditoleransi, tentunya sikap tenggang rasa lebih diperkenankan lagi dalam jal perbedaan pandangan poilitik dan teologi. Dari sini, sudah sangat jelas bahwa Islam memiliki pandangan universal yang berlaku bagi seluruh umat manusia.

Menganggap elite Islam otomatis yang paling benar ditengah keberagaman, dan tidak mungkin salah, tentu menyalahi prinsip dalam Islam yang menganggap manusia tidak terlepas dari kesalahan, maka dari itu dalam ajarannnya ada anjuran untuk “bertaubat”. Kemudian mengkafirkan golongan lain dengan bertindak barbar yang kemudian berdalih meneggakkan syariat tanpa kompromi, tentu sudah melanggar ajaran tentang memuliakan semua manusia tanpa memandang ras dan keyakinannya serta hidup berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan mengasihi.

Maka tidaklah keliru jika ada pandangan seperti kawan Roy Murthodo, mengenai isi sentimen agama yang tak kunjung usai, justru akan hanya membuat kaum muslim akan terus terjebak pada kontradiksi internal antara yang seharusnya dan senyatanya. Jika kaum muslim khususnya di Nusantara tidak bisa melampaui hal ini, maka tidak menutup kemungkinan dan tidak bisa membayangkan akan muncul perdebatan ilmiah yang mampu menjelma obor pencerahan (at-tanwir) bagi matinya kewarasan, sebagaimana dulu, perdebatan antara AL-Ghazali dan Ibn Rusyd.

Kaum fanatik sudah cukup banyak di Indonesia, namun ironis fanatik yang terjadi “buta dan tuli”, yang mana lebih untuk memilih “percaya” begitu saja ketimbang dikaji, dianalisa, dipelajari, dan dipikirkan terlebih dahulu tentunya dengan melihat dunia nyata. Misalnya seperti pengikut RS, dimana RS sudah ditetapkan tersangka kasus porongrafi, hal ini tidak akan mempengaruhi pengikutnya, karena bagi mereka lebih percaya bahwa RS tidak melakukannya, namun mereka lupa bahwa RS juga manusia biasa yang tentunya peluang tentang pornografi itu tidak menutup kemungkinan adalah benar adanya.

Lantas kenapa partai-partai dan organisasi keagamaan, masih doyan memainkan isu sentimen agama?

Seperti yang sudah saya paparkan diatas, bahwa memahami negeri ini juga tidak terlepas bagaimana kita memahami dan melihat isu sentimen agama itu sendiri. Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam jauh lebih strategis dan terlihat perjuangannya baik secara proses ataupun hasil, namun meski terpecah menjadi dua, organisasi penggagas nasionalisme ini justru juga merangkul semua kalangan untuk berjuang bersama, termasuk yang berpandangan komunis. Jika melihat hari ini, tidak sedikit diantara partai dan organisasi yang identik dengan “keagamaan” justru menciptakan kelas-kelas penindas baru, yang diisi orang-orang agamis opurtunis. Hal ini tidaklah cukup, dengan demikian dibutuhkan kolaborasi dengan para elite termasuk golongan “sekuler liberal” atau yang mengaku kaum nasionalis tetapi lebih tampak seperti boneka tirani captalis.


Disinilah terjadi “pelacuran” dalam lingkaran kolaborasi tersebut, ada kenikmatan yang diinginkan, ada tawar-menawar, ada jasa kiri-kanan, kurir, mucikari, termasuk marketing seperti memasarkan kebencian dan kebohongan. Lalu warga dijejali dengan pembodohan massal. “Pelacuran” ini menjadi rapi dan indah, karena dikemas dengan isu agama. Berhubung propaganda Komunisme adalah anti agama yang digaungkan Soerharto selama 32 tahun dan berhasil, maka rezim saat ini diserang isu kebangkitan PKI, Kenapa PKI? Karena central isu yang dibangun oleh mereka adalah “sentimen agama”. Maka tidak heran sekelas Yusril dan Amien Rais pun saat ini turut bicara soal komunisme.

SBY dan Prabowo tentulah yang paling mendukung, meski keduanya sempat memiliki hubungan yang tidak harmonis, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama pada Pilpres 2019 nanti. Jika mereka tidak menyepakati tentang isu Agama yang terjadi dan mempunyai jiwa nasionalisme atau bicara keutuhan NKRI, pertanyaan kita kenapa keduanya diam saja dalam isu identitas yang telah membuat gaduh politik secara nasional, saat kelompok Saracen diciduk, atau mendukung Perppu Ormas. Saya pikir, para pembaca sudah dapat menganalisanya sendiri.

Sentimen Agama ini menjadi pilihan terbaik bagi mereka, untuk merobohkan kekuasaan yang sah. Agar tampak seperti pembenaran, maka ormas-ormas keagamaan dan tokoh-tokohnya menjadi pilihan “wayang” bagi mereka.

Apakah Istana, tidak mengetahui sekaligus memahami hal ini? Tentu tahu dan tentu paham.
Maka dari itu lihat saja, satu-persatu dari mereka diamankan. Kenapa Rizieq Shihab belum? Kalau kita lihat lagi, beragam aksi yang dipimpin oleh RS dengan membawa isu agama yang sudah ditempa dalam menuntuk Ahok, dan menjatuhkan Jokowi dalam pandangan luas, cukup membuat gaduh politik nasional, bahkan satu saudara pun saling benci. Jika RS segera ditangkap dan diadili pada waktu itu, maka tidak menutup kemungkinan kegaduhan yang lebih dasyat akan terjadi, mengingat kasus RS ini adalah kasus yang “memalukan”.

Hal ini tentu dimanfaatkan oleh para elite politisi untuk membuat kekacauan yang lebih besar, dengan isu yang sama “Agama”. Maka dari itu diperetelin dulu satu-satu, dari para elite politisi yang ditangkap KPK, HTI yang dibubarkan, Tokoh-tokoh lama yang kerap dibelakang layar muncul kepermukaan satu-persatu, kelompok penyebar kebencian yang tersruktur diciduk, DPR yang mendukung aksi Pilkada DKI makin memperlihatkan kedunguannya, Ketum-ketum partai yang tidak suka rezim saat ini semakin ketahuan oleh publik dan melakukan pertemuan-pertemuan hingga jumpa pers, bahkan terungkapnya penipuan fisrts travel yang masuk dalam ruang “keagamaan”. Tentu semua ini diketahui oleh RS meski dia di Arab, dan hal ini juga dapat mengguncang psikologis RS itu sendiri, dia bukan siapa-siapa hanya “wayang” yang diutak-atik dalang.

Saat ini saya secara pribadi, krisis kepercayaan kepada ormas dan partai “keagamaan”. Dan kalian salah satu musuh yang nyata. Yang tidak ada bedanya dengan hasil produck capitalistisk dalam hegemoni kekuasaan, penuh konsesus terselubung serta anak imperial, dunia kalian lebih hina dari dunia “pelacuran”.

Islam tidak sama dengan ideologi islamisme ataupun sejenisnya. Yang satu soal “iman” dan yang satuya soal “ideologi politik totalitarian”. Bukan campursari seperti lagu. Pembodohan massal dilakukan, kemaslahatan diteriakkan. Jadilah dia oplosan yang memabukkan, sekaligus mabuk janda (eh typo).

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar