Berita Dunia Jitu - Merasa diri paling benar, paling suci, dan paling bersih harus selalu siap untuk mendapatkan serangan seheboh apapun atas kesalahan sekecil apapun. Apalagi, jika ternyata lebih banyak ngelesnya dan pembenarannya daripada minta maaf dan menyatakan diri tidak akan mengulanginya lagi.
Peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga pantas diterapkan kepada mereka yang seperti ini. Kelakuan bak malaikat dan orang paling tahu agama memang menjadi sebuah tren di dalam dunia politik saat ini. Kita akan selalu mengenal nama-nama seperti HTI, FPI, dan PKS kalau menyinggung masalah paling benar dan paling agamis ini.
Dalam berpolitik, nama PKS memang menjadi sebuah momok yang sangat percaya diri jualan agama dan jualan dakwah. Bahkan sering sekali mengakunya partai dakwah, tetapi malah jadi partai mewah. Kalau dakwah, dalam tolok ukur penghidupan, seharusnya tidak mewah seperti PKS saat ini.
PKS tidak pantas sebenarnya mempersonifikasikan partai mereka dengan kata dakwah kalau melihat apa yang mereka lakukan sejauh ini. Mantan presiden mereka saja sudah kena ciduk karena korupsi dan kelakuan memiliki pusthun, lalu sudah ketahuan juga kalau mereka ini punya kelakuan minta mahar politik dalam Pilkada.
Karena itu, pernyataan Wasekjen PKS Mardani Ali Sera, bahwa PKS tidak ada mahar politik karena partai dakwah benar-benar membuat saya menjadi muak dan mual. Bagaimana mungkin masih percaya mereka adalah partai dakwah kalau banyak kadernya kena ciduk KPK dan dalam sebuah kasus terkuak adanya mahar 8 miliar di Pilgub Sulawesi Selatan tahun 2013.
PKS partai dakwah, kita tidak memperkenankan mahar politik,” kata Wasekjen PKS Mardani Ali Sera.
“Karena itu budaya merusak yang membuat hanya orang dengan uang yang dapat menjadi kepala daerah,” ujar Mardani.
Kalau yang menyatakan partai baru bisa masuk akal juga, tetapi kalau PKS yang menyatakan hal ini menurut saya adalah sebuah kemunafikan yang sudah jadi kebiasaan. Kalau benar-benar mau berdakwah saya pikir adalah salah kalau melakukannya dengan berpolitik. Karena butuh dana yang sangat besar apalagi kalau bukan partai dengan pemodal besar.
Belum lagi kalau melihat orang-orang yang bergabung bukanlah orang-orang seperti Buya Syafii dan Gus Mus malahan banyak seperti Rizieq Shihab dan Buni Yani, para penjual agama. Mengaku dakwah tapi tarifnya bisa beli mobil Pajero. Itukah namanya sedang berdakwah?
Meminta mahar politik itu sudah jadi kebiasaan PKS. Walau memang tidak pada semua calon yang diusung maharnya berupa uang, tetapi bisa saja memang ada beberapa perjanjian yang dalam dugaan saya tidak berupa uang. Bisa saja jabatan-jabatan tertentu di SKPD atau juga di BUMD. Kalau mengenai itu, saya memahami betul PKS melakukannya.
Kondisi ini tentu saja tidak pada semua kondisi. Ada kondisi tertentu, yaitu kondisi di mana suara PKS punya posisi tawar yang tinggi. Jika tidak, maka PKS hanya jadi partai ikut-ikutan saja. Hal ini tentu saja membuat PKS tidaklah pantas menyebut dirinya partai dakwah. Dan kalau masih saja memaksa menjadi partai dakwah dan mengaku partai tanpa mahar, maka saya akan terus cap PKS sebagai partai munafik.
Saya malah melihat kejujuran DPW PPP Jawa Timur mensyaratkan mahar politik sebesar Rp 35 juta bagi bakal calon yang mendaftar untuk Pilgub Jatim 2018 “lebih mulia” dibandingkan kemunafikan PKS. Jujur di depan daripada main di bawah meja dan main belakang menurut saya bukanlah tindakan yang pantas dilakukan partai yang mengaku partai dakwah.
Apa iya mau dakwah tetapi kerjaannya bohong dan malahan akhirnya korup?? Lebih baik tampil apa adanya, daripada ada apanya. Semua sudah tahu dan semua sudah terbuka di media sosial ini. Partai seperti PKS tidak akan laku lagi dengan slogan partai dakwahnya dan mengaku tanpa mahar.
Sudahlah PKS, jangan berlindung dibalik kata “dakwah” padahal kelakuan sebenarnya partai minta uang mahar juga. MUNA
Sumber
Tidak ada komentar:
Write komentar