Senin, 28 Agustus 2017
Masyarakat Kurang Berkuasa
Berita Dunia Jitu - Demokrasi adalah mungkin oleh karena rakyatnya yang baik, tetapi demokrasi dibutuhkan oleh karena rakyatnya yang jahat
Masyarakat kurang berkuasa dalam hal apa? Dalam hal berdemokrasi. Dalam hal bernegosiasi. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang pluralistik. Masyarakat menjadi kurang berkuasa akibat dari pola penyeragaman dari pusat.
Adalah Bernard Adeney-Risakotta melalui paparan “Teori Kekuasaan dari Bawah” dalam Kajian Politik Lokal & Sosial-Humaniora (2009) yang memahami bahwa masyarakat Indonesia kurang berkuasa disebabkan oleh politik penyeragaman Soeharto.
“Di bawah Orde Baru, perbedaan diredam dan ‘demokrasi’ disamakan dengan penyeragaman di bawah satu komando tetap (Soeharto). Struktur pemerintahan dipakai untuk menyeragamkan masyarakat melalui semua institusi-institusi yang dikendalikan dari pusat. Apapun atau siapapun yang terlalu menonjol harus dipotong.”
Dalam konteks pluralitas agama, setiap agama pun terpaksa toleran. Kalau tidak kelihatan toleran maka mendapat ancaman dari kekuasaan. Bangunan relasi antar agama lebih mempercayakan pada aparat pemerintahan. Hal inilah yang sejatinya berbahaya. Ketika toleransi dibuat elitis dan diserahkan pada kekuasaan.
Akibatnya, ketika Soeharto lengser, masyarakat terpecah-pecah oleh SARA. Artinya toleransi di permukaan yang nampak indah dalam keseragaman ternyata tidak mendalam. Paradigma pusat untuk menyeragamkan segala sesuatu justru kurang memberdayakan masyarakat. Ini jelas ketika Orde Baru berganti Orde Reformasi.
Semangat reformasi adalah keinginan masyarakat punya struktur pemerintahan yang lebih demokratis. Masalahnya, setelah 30 tahun didominasi oleh satu komando, rakyat kurang mampu bernegosiasi tentang kekuasaan di antara kelompok-kelompok lokal yang pluralistik.
Padahal, menurut Bernie, rakyat Indonesia sebenarnya pandai tawar-menawar sebagai individu atau dalam kelompok sendiri. Akibat pola penyeragaman dan serba terpusat selama pemerintahan Orde Baru, potensi ini tidak berkembang. Masalah terjadi ketika pada era Reformasi, struktur negara belum mampu mengendalikan masyarakat untuk bernegosiasi tentang kekuasaan tanpa uang (KKN) atau kekerasan (milisi dan TNI).
Masyarakat yang selama 30 tahun diseragamkan oleh pemerintahan otoriter, kurang mampu bergerak bersama. Masyarakat kurang berkuasa. Kurang berdaya untuk membagi-bagi kekuasaan sehingga menemukan keseimbangan.
Artinya, kita semua boleh mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Tetapi, perbedaan ideologi, tujuan dan kepentingan masih tetap ada. Setiap kelompok mempunyai kekuasaan tertentu. Kekuasaan dalam masyarakat pun perlu dibagi-bagikan. Kenyataan demikian tidak mungkin hilang.
Demokrasi, sejatinya bukan cara untuk menghilangkan perbedaan. Demokrasi adalah proses negosiasi untuk mencari keseimbangan di antara perbedaan. Nah, dalam bangsa dan negara sebesar dan semajemuk Indonesia, karenanya harus ada struktur yang dibangun dari institusi dan aturan main (hukum) yang kuat. Inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah kebhinnekaan. Rumah yang seimbang dalam perbedaan dengan pilar hukum yang kuat berdasarkan Pancasila.
Hal yang tidak mudah, itu sudah tentu. Kutipan dari pandangan Reinhold Niebuhr di atas layak menjadi titik tolak. Niebuhr tidak bermaksud memilah bahwa sebagian rakyat baik, lalu sebagian lagi jahat. Mengingat semua orang sejatinya itu sekaligus baik dan jahat.
Semua orang mempunyai niat tertentu yang baik. Masyarakat mampu mencapai tujuan yang baik, kalau struktur dan institusi-institusi memungkinkannya. Semua rakyat juga jahat dalam arti setiap orang yang punya kepentingan sendiri itu sulit membayangan kepentingan orang lain. Kejahatan ini bersumber pada egoisme diri atau kelompok.
Jelas bahwa semua orang itu terbatas, mengingat tidak ada orang yang tanpa pamrih. Tepat sekali ungkapan kebijakan Jawa “ramé ing gawé sepi ing pamrih”. Pamrih yang ada itu tidak dikoarkan, tetapi dibuat sunyi saja. Yang ditonjolkan adalah kerja, kerja dan kerja untuk kebaikan bersama. Karena semua orang terbatas, maka perlu dibatasi oleh struktur hukum.
Selain itu, menurut Niebuhr, kekuasaan harus dibagikan oleh karena tidak ada orang yang cukup baik atau cukup bijaksana untuk dipercayai dengan nasib manusia. Dalam konteks ini, orang yang paling berbahaya adalah pemimpin idealis. Sosok yang merasa diri wajib dan layak mengendalikan nasib semua orang, tanpa dibatasi oleh lawan. Maka, salah satu sikap pemimpin yang paling penting adalah kerendah-hatian.
Mengapa pemimpin yang rendah hati penting? Sejatinya tidak ada pemenang mutlak dalam proses demokratis. Proses politik lokal dan nasional yang demokratis adalah negosiasi dan kompromi di antara pihak-pihak yang semua berkepentingan.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar