Kamis, 10 Agustus 2017

Hai, Fadli Zon! Jokowi Bukan Diktator

Hai, Fadli Zon! Jokowi Bukan Diktator

Berita Dunia Jitu - Mendengar kata “diktator”, saya teringat satu nama, Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara yang begitu bengis dan brutal itu. Kim Jong Un yang berkuasa sejak tahun 2011 itu, tidak segan-segan membunuh siapa saja yang tidak sejalan dengannya. Kim Jong Un pernah memerintahkan eksekusi mati terhadap salah satu menterinya dengan menggunakan senapan anti-pesawat hanya karena sang menteri tersebut tertidur dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh pemimpin Korea Utara tersebut.

Bagi masyarakat Korea Utara, Kim Jong Un setara dengan Tuhan. Atau bahkan lebih tinggi dari Tuhan. Di setiap rumah-rumah penduduk, foto sang pembesar, ayahnya, Kim Jong Il dan kakeknya Kim Il Sung harus terpampang. Jika tidak, itu akan menjadi sebuah malapetaka. Titah sang raja, adalah sesuatu yang harus dituruti dan dilaksanakan.

Untuk menonton televisi dan mendengar musik saja, warga Korea Utara harus diatur oleh negara. Mereka hanya bisa menonton siaran televisi yang telah ditentukan oleh negara yang tayangannya hanya seputar propaganda terhadap negara saja, dan hanya boleh mendengar lagu-lagu kenegaraan. Jika mencoba melawan, nyawa adalah taruhannya. Sudah ratusan jiwa melayang hanya oleh karena mencoba menonton siaran televisi dan mendengar musik di luar yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Warga Korea Utara juga tidak diizinkan memiliki mobil. Karena mobil hanya diperuntukkan bagi para pejabat negara. Dan masih banyak lagi larangan pemerintah yang bagi kita, hal itu adalah sebuah hal yang biasa dan wajar saja. Penduduk Korea Utara tidak boleh bepergian ke luar negeri, tidak ada ritual keagamaan di sana, tidak berhak menyampaikan pendapat dan mengakses internet yang benar-benar dibatasi. Berada di Korea Utara jangan pernah berharap akan bisa menggunakan berbagai jenis media sosial. Karena hukumannya jelas: mati.

Di tengah tekanan, kemiskinan dan kemelaratan yang melanda penduduk Korea Utara, Kim Jong Un memiliki gaya hidup yang super mewah. Kim Jong Un memiliki koleksi mobil super mewah lebih dari 100 mobil. Kim juga memiliki kapal pesiar yang harganya mencapai Rp. 91 miliar, mempunyai resor dan padang golf pribadi, bahkan makanan dan minumannya harus diimpor dari berbagai negara.

Di samping Kim Jong Un, mendengar kata diktator, kita juga pasti terpikir dengan beberapa pemimpin diktator lainnya, yang membuat masyarakatnya serasa hidup dalam tekanan yang begitu berat sepanjang harinya. Saddam Husein di Irak, mungkin salah satu diktator yang paling dikenal di dunia. Kita juga mengenal Kolonel Moammar Khadafy di Libya dan beberapa pemimpin diktator lainnya di dunia.

Melihat gaya kepemimpinan para diktator tersebut di atas, saya tidak melihat sedikit pun ada kemiripannya jika dibandingkan dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh Presiden Joko Widodo. Jika disebut merakyat, sederhana dan tegas, ya. Tapi jika ketegasan seorang Jokowi diidentikkan dengan kediktatoran, rasanya sebuah cara berpikir yang agak terbalik-balik.

Setiap Jokowi berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia, kita akan menyaksikan bagaimana seorang Jokowi begitu dieluk-elukkan oleh segenap warga yang ditemuinya tanpa ada paksaan dari siapa pun. Mereka berebut untuk bersalaman dengan sang presiden, dan jika mereka bisa berfoto bersama, itu merupakan bonus yang sungguh tidak ternilai harganya.

Sikap Jokowi yang begitu dekat dengan rakyatnya itu bahkan kerap membuat para pengawalnya harus bekerja ekstra untuk menjamin keamanan presiden dalam setiap kunjungannya. Jokowi juga acap mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan dan pasar-pasar tradisional hanya untuk memastikan pergerakan roda perekonomian masyarakat. Bahkan suatu waktu, ketika Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Barat, Jokowi bersama rombongan singgah di sebuah warteg dan makan di sana.

Bukan hanya Jokowi yang selalu tampil sederhana. Anak-anaknya juga mengikuti dan meneladani kesederhanaan sang ayah. Akan sangat mudah sebenarnya bagi anak-anak Jokowi untuk memanfaatkan jabatan ayahnya sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini untuk kepentingan pribadi mereka. Namun, mereka tidak memilih melakukan itu. Hukum “aji mumpung” tidak berlaku bagi mereka.

Kaesang Pangareb dalam Vlog-nya pernah menyindir para anak-anak pejabat lainnya yang kerap bermain proyek dengan mengandalkan kekuasaan orang tuanya di pemerintahan. Bukan hanya Kaesang, Gibran Rakabuming, anak sulung Jokowi, juga melakukan hal yang sama. Dia menolak bermain proyek dan bahkan menjauh dari hingar-bingar dunia politik. Dia lebih memilih menggeluti bisnis jasa boga dan martabaknya.

Anak presiden jual martabak? Aneh bukan? Sebuah keadaan yang begitu kontradiktif jika dibandingkan dengan kehidupan para anak-anak presiden pendahulu Jokowi. Kahiyang Ayu juga tampil begitu sederhana dalam kesehariannya. Putri semata wayang Jokowi ini lebih memilih bebas bergerak ke mana saja tanpa pengawalan Paspampres yang sebenarnya adalah haknya.

Kesederhanaan Jokowi juga terlihat ketika mengadakan kunjungan ke Turki dilanjutkan kunjungan ke Hamburg, Jerman untuk menghadiri KTT G20 yang membawa serta seluruh keluarganya. Biaya perjalanan keluarganya yang sebenarnya dapat dibebankan kepada keuangan negara yang memang sesungguhnya tidak menyalahi aturan dan perundang-undangan, namun Jokowi memilih cara lain. Jokowi menanggung seluruh biaya perjalanan keluarganya dengan menggunakan uangnya sendiri.

Lalu mengapa Fadli Zon menyebut Jokowi seorang pemimpin diktator? Mengertikah dia arti kata “diktator?” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “diktator” berarti “Kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, biasanya diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis.” Jokowi pemimpin yang berkuasa secara mutlak? Jokowi memperoleh kekuasaannya lewat cara-cara kekerasan dan tidak demokratis?

Sungguh padanan kata yang sangat tidak tepat untuk mendeskripsikan seorang Jokowi. Selama lebih dari dua tahun pemerintahannya, Jokowi begitu gencarnya membangun berbagai jenis infrastruktur di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Sejak tahun 2014 hingga akhir tahun 2017 nanti, sepanjang 568 km jalan tol akan beroperasi. Jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY yang hanya berhasil membanguan 212 km jalan tol selama 10 tahun pemerintahannya dan bahkan lebih panjang jika dibandingkan dengan jalan tol yang pernah dibangun pada era Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya yang hanya 490 km. (Baca link terkait di sini.

Jokowi juga berhasil menciptakan wajah Indonesia lebih indah dan menawan lewat kebijakannya membangun daerah-daerah terluar dan perbatasan Indonesia. Daerah-daerah tersebut dipoles sedemikian rupa yang mengakibatkan kunjungan wisatawan lewat pintu-pintu perbatasan tersebut meningkat tajam. Dan masih banyak lagi karya Jokowi yang begitu mengagumkan dan mampu mengangkat Indonesia lebih terhormat, bermartabat dan sejahtera. Mulai dari ujung Sumatera hingga ujung Papua Jokowi hadir lewat berbagai pembangunan yang bergerak begitu cepat.


Jadi, atas dasar apa Fadli Zon menuduh Jokowi sebagai seorang pemimpin diktator? Kekalahan Prabowo tahun 2014 lalu menjadi awal kekesalan tak berdasar Fadli Zon terhadap Jokowi.

Mungkin jauh-jauh hari sebelum Pilpres yang begitu panas dan riuh itu dihelat, politikus Partai Gerindra tersbut sudah berharap besar jagoannya akan keluar sebagai jawara. Mungkin juga sebelumnya, hatinya begitu berbunga-bunga bak sejoli anak muda yang sedang dimabuk cinta. Karena pikirnya, dia akan menduduki sebuah jabatan strategis di negeri ini. Sekalipun sebenarnya jabatan yang diembannya saat ini tidak kalah strategis dengan menjadi seorang menteri misalnya. Ternyata harapan itu pupus bak bunga yang layu sebelum mekar.

Dan sejak saat itu, Fadli Zon sering sekali melontarkan kritik pedas terhadap Jokowi. Bahkan pernyataan-pernyataan yang kerap dilontarkannya di berbagai media tersebut cenderung melecehkan dan menghina. Adalah hal yang sangat baik ketika seseorang memberi kritik membangun kepada pemerintah demi perbaikan dan peningkatkan kinerjanya. Tetapi ketika yang disampaikan adalah ujaran-ujaran yang cenderung membenci dan menyerang pribadi seseorang, hal itu sungguh sebuah tindakan yang tidak terpuji.

Sebagai seorang Sarjana Sastra, Fadli Zon juga kerap menyerang Jokowi lewat puisi-puisinya. Sajak yang berjudul “Sajak Seekor Ikan”, “Air Mata Buaya”, “Raisopopo”, hingga puisinya yang terakhir “Sajak Diktator Kecil” diciptakannya untuk mengkritik Jokowi. Memang tidak ada yang salah di situ. Tetapi ketika bait demi bait puisi-puisi tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya, membuat kita geleng-geleng kepala. Wakil Ketua DPR “kok” begitu? Seharusnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyejukkan. Tapi “kok” sebaliknya?

Ketegasan Jokowi dalam balutan wajah dan sikapnya yang kelihatan “ndeso” itu membuat Fadli Zon dan banyak orang kejang-kejang. Sepertinya mereka tidak senang negeri ini aman dan damai. Sepertinya mereka tidak senang negeri ini bergerak maju. Sepertinya mereka tidak senang negeri ini disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Sepertinya mereka tidak senang Papua yang sebelumnya “terhina” itu dimanusiakan dan “diindonesiakan” oleh Jokowi. Sepertinya mereka tidak senang rakyat hidup makmur dan sejahtera.

Karena kalau semua itu terjadi, niatan mereka untuk menjadi pempimpin tertinggi di negeri ini akan sangat sulit terwujud. Karena kalau Indonesia aman, damai, maju, terhormat dan disegani, serta makmur dan sejahtera, tertutuplah kesempatan mereka untuk memimpin.

Jikalau saja Indonesia hancur berantakan, maka tahun 2019 nanti, mereka akan hadir bak “superhero” sebagai penyelamat. Namun semua itu tidak terjadi. Keuletan dan kerja keras Jokowi mampu membalikkan harapan busuk mereka tersebut. Jika di awal-awal pemerintahannya, mereka menyebut Jokowi sebagai presiden boneka dan petugas partai, kini terbalik. Mereka malah menyebut Jokowi otoriter, diktator dan tidak demokratis. Menggelikan bukan?

Jokowi memang menjadi “diktator” dan “otoriter” bagi mereka yang ingin mencoba merusak bangsa ini, bagi mereka yang ingin merongrong kedaulatan bangsa, bagi mereka yang anti-Pancasila, bagi para koruptor yang menggerogoti keuangan negara, dan bagi mereka yang tidak hidup sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Karena Jokowi mencintai Indonesia. Karena Jokowi ingin Indonesia melesat dengan cepat. Karena Jokowi ingin meneruskan cita-cita para leluhur dan pendahulu bangsa ini: menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Hary Tanoesoedibjo yang sebelumnya begitu keras mengkritik Jokowi, sepertinya sudah merasakan “kediktatoran dan “keotoriteran” seorang Jokowi. Kini dia berbalik mendukung Jokowi sekalipun kita belum tahu pasti apa motif di balik dukungan itu. Mungkinkah karena beberapa kasus yang menimpanya? Bahkan belakangan, Fahri Hamzah juga mengeluarkan pujian atas Jokowi. Lalu, Fadli Zon, kapan?

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar