Jumat, 11 Agustus 2017

Demokrasi Sudah Menjadi Otoritarianisme Lunak Atau Gaya Baru

Demokrasi Sudah Menjadi Otoritarianisme Lunak Atau Gaya Baru

Berita Dunia Jitu - Dalam percaturan politik luar negeri global, Indonesia kini termasuk negara demokrasi terbesar di dunia karena sukses menggelar pesta demokrasi dalam wujud pemilihan umum presiden langsung serentak pada 2009 yang lalu. Boleh dikatakan kecenderungan negara demokrasi adalah kemegahan dan kesuksesan pemilihan kepemimpinan pemerintahan secara langsung oleh rakyat maupun melalui perwakilan rakyat (semi-langsung). Dengan demikian menegakkan kemerdekaan atau kebebasan memilih dan menggerus kepemimpinan atau rejim otoriter, idealnya seperti itu.

Kalau saya perhatikan makin kemari, esensi demokrasi sendiri baik di dunia maupun di Indonesia sudah banyak keluar jalur dari idealnya, kalau boleh saya katakan perubahan dari kebebasan utuh menjadi kebebasan setengah hati kalau tidak mau saya katakan bahwa demokrasi sudah menjadi otoritarianisme lunak atau gaya baru.

Saya ambil contoh di Indonesia, hampir sebagian besar atau mayoritas kekuasaan demokrasi dipegang sepenuhnya oleh partai politik. Berganti kepemimpinan bukanlah semata-mata berganti performa baru namun lebih berganti partai. Oleh karena saking besarnya kekuatan mayoritas maka pudar juga kekuatan minoritas seperti kekuatan komunitas, kekuatan masyarakat adat, kekuatan sesepuh masyarakat, kekuatan golongan keagamaan, dan kekuatan lembaga sosial dan swadaya masyarakat.

Makin saya memperhatikan sepertinya kekuatan politik sudah menjadi panglima dalam setiap aspek pengambilan keputusan publik maupun penyelenggaraan negara. Semua bermuara entah itu di rapat kerja, rapat terbatas, panitia khusus. Ini menandakan kematangan partai mengelola isu yang bermuara pada kepentingan golongan belaka. Kekuatan permusyawarahan dan permufakatan rakyat yang basisnya akar rumput seperti contohnya dengan diskusi publik, rembuk warga di berbagai lapisan sudah memudar.

Semakin sulitnya ruang aspirasi masyarakat semakin banyak saluran yang mampat. Bisa terdengar sambil lalu saja oleh pemangku kepentingan dan penentu kebijakan. Mau tak mau bila aspirasi tidak dikelola dengan baik maka gelombang demonstrasi menjadi pilihan atau banjir ujaran di media sosial yang cenderung negatif semakin merajalela. Ini adalah bentuk komunikasi yang buntu hanya satu arah, seyogyanya dua arah.

Arah demokrasi Indonesia pada desainnya adalah mengutamakan musyawarah untuk mufakat memang sederhana bila hanya melibatkan satu forum komunikasi RT (Rukun Tetangga) yang terdiri dari 20 Kepala Keluarga. Nantinya satu isu tersebut akan dinaikkan ke dalam forum  RW (Rukun Warga) kemudian naik menjadi forum Kelurahan hingga Kecamatan bahkan forum Kotamadya hingga Propinsi, akan menjadi lebih mudah karena berjenjang dari bawah ke atas, dari yang mudah hingga yang populasinya kompleks.

Namun pada praktiknya, suatu isu kemasyarakatan lebih cenderung keputusan yang dipaksakan dari atas ke bawah. Keputusan matang ya bukan sosialisasi solusi suatu isu. Dengan pemaksaan kehendak dari atas sebagaimana yang diterapkan selama ini cenderung banyak permasalahan dan benturan sosial di masyarakat hingga ke forum terkecil, RT dan Kepala Keluarga.

Pemaksaan kehendak ini selalu dibalut dengan kata keputusan pimpinan masyarakat atau keputusan wakil rakyat, sudah melalui penelitian dan survey singkat kepada masyarakat. Terang saja dengan jenjang bertingkat dan birokrasi panjang, kerap banyak keputusan ideal atas suatu isu menjadi menyimpang bahkan bisa diabaikan bila tidak dapat diterapkan di forum terkecil.


Alasan proses yang panjang bila menampung satu per satu aspirasi personal masyarakat, belum lagi menilik dari tingkat kebutuhan dan urgensi. Proses demokrasi yang sesungguhnya bermula dari forum terkecil hingga forum terbesar kini cenderung dianggap menyulitkan dan dapat diabaikan dengan sabda politik dari atas. Inilah alur demokrasi yang paling hakiki menjadi timpang dan pucat memudar bermutasi menjadi otoritarian.

Mutasi demokrasi menjadi otoritarian meski dalam tahap lunak, hal yang patut kita waspadai bersama dalam kehidupan politik bermasyarakat dan bernegara di republik ini. Lambat laun bukan tidak mungkin kebuntuan saluran aspirasi masyarakat saat ini sudah dalam taraf yang moderat.

Contoh kebuntuan aspirasi banyak kita jumpai di masyarakat. Kaum intelektual dari berbagai perguruan tinggi mengeluarkan petisi guna menyelamatkan KPK. Komunitas petani menyemen kakinya di depan istana negara guna menyelamatkan tanah leluhurnya dan lahan penghidupannya dari eksploitasi industri semen. Setiap minggu kumpulan jemaat nasrani yang beribadah di depan istana karena hak mendirikan rumah ibadah disandera kepentingan golongan meski perkara izin sudah inkracht.

Kalau boleh saya katakan baik gugatan petisi, gugatan aksi, hingga gugatan hak hukum adalah bentuk iman terhadap demokrasi Pancasila. Sesuatu yang sakral bagi kaum intelektual perguruan tinggi, kaum petani, kaum nasrani yang memang harus disertai dengan perbuatan dari komunitas bawah, yang bukan berasal dari pengambil kebijakan atau penyelenggara negara.

Lantas dimanakah demokrasi itu, ya demokrasi Pancasila yang saya percayai akan mengembalikan harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia sejajar dengan negara maju dan modern secara teknologi dan keuangan. Di sini, di Republik Indonesia seyogyanya peradaban demokrasi Pancasila kita hasil karya pendahulu pendiri bangsa kita sudah melampaui zamannya. Kini perlahan ambruk peradaban tersebut oleh banjir bandang budaya asing.

Akankah otoriter lunak akan menjadi di Republik Indonesia ini, tentunya arah peradaban bangsa terletak pada kebersahajaan dan kelapangan hati para pemimpin bangsa untuk bangun dari tidur dan memperbaiki diri serta merakit dan menyetel ulang peradaban super modern yang lama terkubur karena dianggap ndeso, berbaur dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita (lagi).

Melalui tulisan ini saya hanya mencoba menyalakan lilin ketimbang mengutuk (ndeso-diktator-otoriter) dalam kegelapan.

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar