Minggu, 13 Agustus 2017

Anies Baswedan Ingin Warga DKI Mengidap Amnesia Massal

Anies Baswedan Ingin Warga DKI Mengidap Amnesia Massal

Berita Dunia Jitu - Panas juga rupanya kuping gubernur terpilih Anies Baswedan menyimak berbagai komentar miring terkait kemenangan dirinya dalam kontestasi politik di DKI. Bagaimana tidak, setiap hari publik DKI tak henti-hentinya membicarakan proses pemilu yang berlangsung pada April lalu. Warga yang sedang menikmati terobosan-terobosan cemerlang Ahok rasa-rasanya tidak bisa menerima tokoh idola mereka terdepak dari ring pertarungan politik DKI.

Sikap penolakan itu semakin keras karena para Ahokers menilai kekalahan Ahok terjadi lewat proses politik yang tidak fair. Ahok kalah bukan karena kecakapan Anies dan Sandi, tetapi lebih karena gempuran isu SARA dihembuskan dengan sedemikian kencang oleh lawan politiknya, ya Anies dan Sandi. Inilah realita politik yang menyakitkan usai kontestasi yang berlangsung panas pada April lalu. Lebih menyakitkan dan sulit diterima nalar yang waras, Ahok yang telah berjuang habis-habisan membangun DKI, mulai dari mencetak infrastruktur tanpa menguras dana APBD, hingga menjaga APBD dari tipu muslihat oknum birokrat dan legislatif, justru dijebloskan ke dalam penjara.

Ironisnya, di saat Ahok menanggung derita di balik jeruji besi karya-karyanya justru mendapat sambutan antusias dari warga DKI. Kemegahan Simpang Susun Semanggi yang dibangun tanpa menggunakan dana APBD tengah diagung-agungkan warga. Gubernur mana yang bisa melakukan hal seperti ini? Cuma Ahok seorang. Kini satu lagi karya spektakuler Ahok yang membuat warga DKI terbengong-bengong: Air Mancur Monas yang menari-nari mengikuti alunan musik. Ini sebuah karya artistik yang selama ini hanya bisa disaksikan di luar negeri. Dan Ahok mampu mewujudkan konstruksi artistik itu di Jakarta, ibu kota negara yang sudah lama menyandang kota semerawut.

Masih banyak deretan karya genius Ahok yang, maaf, mungkin tidak akan mampu dilakukan Anies Baswedan dan pasangannya Sandiaga Uno. Resonansi karya-karya Ahok ini mampu menenggelamkan gaung kemenangan pasangan ASU (Anies Baswedan-Sandiaga Uno). Inilah kemenangan Ahok atas Anies-Sandi; kemenangan tanpa kampanye SARA. Sedih dan memprihatinkan memang. Kemenangan Anies-Sandi yang dicapai dengan segala cara, mulai dari isu pemimpin tidak santun, kontroversi Almaidah yang melahirkan aksi demo berjilid-jilid, hingga ancaman menelantarkan jenazah pendukung Ahok, kini disambut sikap apatis dan sepi aplaus. Sementara Ahok yang sudah dipenjara malah terus dielu-elukan.

Kalau mau jujur, Anies pasti sakit hati atau setidaknya merasa tak enak hati. Semua programnya dikritik habis-habisan meski ia belum mulai mengeksekusinya. Bekas menteri Jokowi ini malah menjadi semacam catatan kaki Ahok belaka. Sebab setiap program yang ia canangkan, selalu dibenturkan dengan apa yang sudah dilakukan Ahok selama menjabat Gubenur DKI. Belum lagi janji manis Anies yang ternyata sulit atau bahkan mustahil untuk direalisasikan, semisal rumah DP nol persen. Kesannya, Anies dan semua programnya begitu compang-camping, sedangkan Ahok terlalu gemilang untuk dibandingkan dengan penggantinya ini.


Singkatnya, sambutan terhadap kemenangan Anies sangat sepi, dan hanya ada di lingkaran pendukungnya saja. Sementara itu kritikan dan sindiran terus mengalir seolah Anies tidak akan mampu membuat Jakarta lebih baik. Anies yang biasanya kalem pun jadi kalap. Responnya atas kritikan dan sindiran warga mulai terlihat emosional dan baper. Dalam sambutannya saat meresmikan ormas Kebangkitan Jawara dan Pengacara DKI (Bang Japar), Anies menyerukan mengganti kalender bagi mereka yang masih getol membicarakan pilkada April lalu. Menurut Anies, apa pun yang dibicarakan tidak akan mengubah posisinya sebagai pemenang pilkada DKI.

Anies lupa bahwa pilkada bukan semata-mata perkara mendulang suara. Kalau sekedar mendulang suara, segala cara cara bisa dilakukan termasuk mengancam mayat tidak akan masuk surga sebelum mencoblos cagub tertentu. Akan tetapi pilkada adalah sekolah politik bagi khalayak, mulai dari yang melek sampai yang awam politik, yang buta huruf sampai yang pandai baca-tulis. Karena itu, pilkada bukan sekedar pesta sehari lalu dilupakan sampai mati. Pilkada adalah bagian dari sejarah yang akan dikenang selama hayat dikandung badan. Dan percayalah, pilkada DKI akan selalu dikenang dan terus menjadi rujukan diskusi meski kalender tak lagi dicetak.

Seruan mengganti kalender yang diungkapkan Anies mungkin cuma sebuah sindiran untuk para pendukung Ahok yang dinilai Anies belum bisa move on dan menerima hasil pilkada April lalu. Sah-sah saja. Tapi sebagai figur yang lama menggauli lingkungan akademis, Anies mestinya sadar dan paham implikasi dari sebuah pernyataan yang terlontar dari mulut seorang pemimpin. Apa yang diucapkan Anies bisa dianggap sebagai seruan untuk mengidap amnesia massal, menjadi pelupa secara berjemaah.

Sanggupkah warga DKI melupakan pilkada 2017? Jangankan warga DKI, warga dari luar DKI saja tidak bisa melupakannya. Karena mereka tahu, sejarah adalah pelajaran paling berharga untuk sebuah bangsa. Karena bangsa yang besar tidak akan pernah melupakan sejarah. Jika Anies mengajak warga untuk melupakan pilkada DKI, apakah itu artinya Anies sedang membawa DKI ke sudut yang kerdil? Situ OK-OC?

Sumber

Tidak ada komentar:
Write komentar